Tempo

Kontes Satrio Piningit Lawan Ratu Adil

12,298 Views

ST2Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Mbak Megawati Soekarnoputri masuk putaran kedua pemilihan presiden. Agar unggul, tim sukses kedua kandidat baik juga mempertimbangkan mayoritas pemilih. Mayoritas itu ada di pelosok atau telah tinggal di kota namun masih berkesadaran pelosok. Agar unggul, apa boleh buat, selain adu program (kalau ada), kedua tim perlu mempertimbangkan hal-hal yang oleh para doktor mungkin dianggap irasional.

Kerja tim sukses perlu dibantu segenap pendukung kedua kandidat melalui kerja mulut ke mulut sehingga masyarakat yang bukan pembaca rubrik ini, yaitu mereka yang sangat mungkin tinggal di pelosok atau tinggal di kota namun masih berkesadaran pelosok, mendapat isu bahwa putaran kedua nanti sejatinya pertarungan antara Satrio Piningit dan Ratu Adil.
Seringnya sebagian orang, termasuk saya, terpeleset mengujarkan Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Satrio Bambang Yudhoyono mungkin menunjukkan bukti bahwa harapan akan tampilnya Satrio Piningit memang masih santer. Impian itu setidaknya mulai dihembus-hembuskan orang sejak pengujung era Soeharto.

Ketika itu, Pak Try Sutrisno, Pak Wiranto, dan Pak Susilo yang kini menjelma SBY muncul di benak orang setiap timbul harapan akan Satrio Piningit. Mungkin karena orang menilai mereka tampan. Ganteng memang jadi salah satu kriteria Satrio Piningit dalam masyarakat tradisional yang diajar oleh cerita rakyat dan wayang. Raden Sindu maupun Bambang Ekalaya dalam wayang cakep. Jaka Tingkir dan Ken Arok dalam cerita rakyat juga rupawan. Tim sukses dan pendukung rasional SBY mesti meyakinkan sebagian besar pemilih (irasional) bahwa akhirnya memang cuma SBY Satrio Piningit itu.

Apakah Mbak Mega, yang karena darahnya bisa dicitrakan si Ratu Adil, akan megap-megap jika tim sukses dan pendukung SBY dari kelas pembaca rubrik ini betul-betul sukses menancapkan kesan ke “kelas lain” bahwa SBY itu Satrio Piningit? Belum tentu, karena di Indonesia masih dan makin banyak penggemar burung perkutut yang yakin akan pentingnya darah.

Silsilah itu penting. Sejak krisis moneter yang lalu dan banyak pekerja berdasi di kawasan Thamrin-Sudirman Jakarta di-PHK, sebagian mereka menjadi penangkar burung perkutut, antara lain di kawasan Serpong. Mereka juga mengatakan kepada pelanggan yang terus bertambah dan dengan harga perkutut yang terus melambung pula dari Rp 250 ribu sampai Rp 1 miliar lebih bahwa darah atau nenek moyang perkutut itu penting. Apalagi pada kasus manusia.

Ini yang kerap dilupakan oleh para doktor yang terhormat sampai-sampai mereka meramalkan putri Bung Karno itu akan sulit masuk putaran kedua.

Memang sebagian orang, seperti kebanyakan sopir taksi di Jakarta, bilang tak akan pilih Mbak Mega di putaran pertama dan mungkin juga di putaran kedua kelak. Namun, itu bukan karena mereka membenci Mbak Mega atau menilai kinerja Mbak Mega tak bagus. Saya dan mereka tak paham dan tak menjangkau lagi tolok ukur penilaian kinerja masa kini yang makin rumit, teknis dan dibikin jadi makin akademis. Biarlah itu menjadi urusan para doktor yang sekarang makin mendapat prioritas porsi bicara dan menulis di media massa ketimbang porsi buat masyarakat yang real hidup dan bergulat dengan keringat dan air mata.

Rekan-rekan sopir itu tak memilih Mbak Mega cuma lantaran ingin mencoba tokoh baru. Itu saja. Artinya, alasan itu tak terlalu kuat. Orang dengan alasan rapuh itu masih mungkin dibangkitkan kesadaran tradisinya bahwa darah atau keturunan tetap lebih penting ketimbang segalanya.

Jika Mas Heri Akhmadi dan kawan-kawannya dari tim sukses Mbak Mega, yang telah bertekad mau mati-matian di putaran kedua, akan sukses menancapkan citra darah Ratu Adil buat kandidatnya, apakah SBY akan terpuruk? Belum tentu juga. Wayang dan cerita rakyat umumnya tak mengajarkan faktor darah selalu lebih unggul ketimbang Satrio Piningit.

Wayang dan cerita rakyat, artinya bukan sejarah namun merupakan ide maupun konsep hidup yang diam-diam turun-temurun di masyarakat, seringkali menunjukkan Satrio Piningit akhirnya memenangi Ratu Adil. Nanti kalau Satrio Piningit itu sudah unggul, masyarakat tinggal membuat darah yang bersangkutan punya kaitan dengan darah biru siapa begitu, bahkan sampai dengan dewa. Begitulah Ken Arok dan mungkin begitu juga nanti riwayat hidup SBY akan direvisi masyarakat secara asyik.

Cuma, sebagai Satrio Piningit, meski telah memenuhi kriteria (kata orang) tampan, SBY kurang memenuhi kriteria “main-main” terhadap perempuan. Ini setidaknya dari yang tampak di media massa. Diwawancarai oleh penyiar laki-laki maupun perempuan, SBY tetap berkesan cool. Itukah saran dari tim sukes yang–saya dengar dari sumber–berkubu-kubu?

Kini setelah pemimpin tim sukses diambil alih sendiri oleh SBY, tolong jangan pernah ada cool lagi terhadap tiang negara (perempuan) di putaran kedua. Dari sisi ini, jika saja Pak Wiranto masuk putaran kedua, SBY terancam. Lihat Pak Wir kalau diwawancarai penyiar perempuan, apalagi cantik. Muncul kuat laki-lakinya melalui senyumnya, matanya, pilihan metafora kata-katanya. Misalnya ketika ia dulu diwawancarai artis Sophia Latjuba di Metro TV. Wah, asyik.

Sekarang naiknya kesadaran perempuan memang lagi marak. Hampir setiap media massa punya rubrik perempuan. Eksekutif telah setuju Rancangan Undang-Undang Perlindungan terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bisa saja tim sukses SBY sebelumnya berpendapat bahwa “main-main” secara sehat dalam batas-batas tertentu tak boleh dilakukan lagi terhadap perempuan. Mungkin mereka melihat bangkitnya kesadaran perempuan untuk tak dilecehkan. Tapi, dari pengalaman saya kerja di kesenian dan membuat lokakarya akting dengan ibu-ibu di berbagai pelosok, saya mendapat kesan bahwa perempuan cuma tak mau dilecehi. Itu saja. Mereka bukan tak mau laki-laki “main-main” secara sehat.

Dari segi wayang sebagai konsep diam-diam yang masih hidup sampai kini, bukan sekadar fiksi, kebetulan saja Sri Lanka mau berterus terang sehingga mengatakan Rahwana tidak menculik Sinta, tapi Sinta yang ingin “diculik” Rahwana karena bosan pada suami yang cool, Rama. Perempuan tradisional yang merupakan mayoritas pemilih presiden sejatinya juga seperti masyarakat Sri Lanka itu, cuma malu saja mau berterus terang.

Di dalam wayang, sekali lagi ini fiksi tapi merupakan ide konkret dalam sejarah, laki-laki yang tak “main-main” secara sehat terhadap lawan jenis dianggap tak punya api. Padahal, api adalah salah satu metafor dalam 8 prinsip kepemimpinan atau hasta brata. Dengan api, masyarakat baru bisa yakin bahwa pemimpin akan tuntas kerjanya karena tak ada yang tak bisa dituntaskan oleh api.

Nah, jika “Satrio” Bambang Yudhoyono bisa tidak cool lagi sehingga mengingatkan masyarakat pada api Jaka Tingkir dan lain-lain Satrio Piningit, tim sukses Mbak Mega tak perlu patah arang. Mereka tinggal menghembus-hembuskan di kalangan mayoritas pemilih bahwa kita memang menjadi kaki tangan Amerika Serikat, tetapi hanya di bawah kepemimpinan Mbak Mega masih mending, kita tak akan terlalu jadi keset lantai Amerika banget. Hanya dengan itu, saya kira, citra Ratu Adil menjadi kian tancap.

Nah, tim sukses Satrio Piningit tinggal membuat “serangan” balik yang lain. Misalnya, hanya dengan Pak SBY maka kita tidak akan terlalu jadi keset lantai superpower yang lain.

Di dalam kontes Ratu Adil-Satrio Piningit, program tidak penting. Yang penting adalah janji akan adanya pengembalian martabat sebagai bangsa yang otonom.