Sindo

40 Hari Pak Harto dan Klenik-klenik Lain

5,017 Views

Saya tidak percaya klenik atau hal-hal yang berbau mistis. Tapi pengalaman hidup saya justru banyak banget model gitu-gitu-nya. Bulan lalu seorang teman mengeluh kenapa dia masih ngebet ama cowok lamanya yang pemakai Narkoba. Apalagi si cowok ini pernah pinjem duit dia dalam jumlah besar dan ngemplang sampai sekarang.

Saya jangankan kenal, ketemu pun ama “belahan jiwa” itu belum pernah. Daripada pembicaraan vakum, saya ngawur saja njeplak, “Kamu ati-ati lho. Sering baca Surat An-Nas untuk tolak bala. Karena dia pake pelet. Gurunya orang Kalimantan.” Temen ini kaget. Ternyata si cowok itu memang punya darah Kalimantan. Jujur omong, sebenarnya saya juga kaget ketika temen ini kaget.

Pekan lalu di kawasan Kuningan saya meeting dengan empat perempuan dari suatu yayasan sebuah pabrik besar bidang rokok-merokok. Mereka cantik-cantik. Dan tampak rasional. Eh, tapi, tiba-tiba mereka minta saya “analisa” dan saya ramal.

Kebetulan saya sedang jenuh dengan topik meeting yang serius dan serem amat. Ya udah. Intermezo. Asal saja saya tunjuk salah seorang di antara mereka sebagai yang punya penderitaan batin amat mendalam tapi sangat rapi disembunyikan. Eh, bener lho!? Mereka bingung. Dan yang lebih penting, saya juga bingung.

***

Kira-kira 40 hari sebelum Pak Harto wafat saya ada acara di Kudus bersama rekan-rekan sastrawan. Acara ini disiarkan langsung RRI Jawa Tengah. Waktu itu saya bilang, sekali lagi asal njeplak, “Pak Harto meninggal kira-kira sepuluh hari lagi setelah saya wayangan di Wonogiri 26 Januari nanti.”

Bukan apa-apa. Kan infotainment berkata, Pak Harto akan susah meninggal kalau kesaktiannya belum dicabut. Dan kesaktian pertama Pak Harto konon dipasang di Wonogiri, daerah asal Bu Tien, istrinya. Nah spontanitas saya di Kudus ya atas dasar info itu. Siapa tahu, kalau mau ge er, wayangan saya di Wonogiri secara spiritual bisa melepas kesaktian itu.

Saya kaget. Ternyata di kabupaten yang alamnya terasa mistis itu saya disuruh membawakan lakon Dewa Ruci. Ini lakon yang dikenal sakral oleh kalangan pedalangan. Yang lebih aneh, sebelum naik pentas bersama Bupati Wonogiri, Begug Poernomosidi, kerabat Cendana, ada seorang tua yang ngasih saya keris.

Ini pertama kali saya mendalang dengan dua keris, yakni keris saya sendiri dan keris yang baru saya terima. Lebih bikin saya bingung lagi, selama semalam suntuk saya mendalang, kiri-kanan layar saya diayomi dengan dua payung.

O ya, sebelum naik pentas, sesepuh yang ngasih saya keris itu berbisik, “Ini tugas berat. Kelihatannya ini cuma wayangan di Wonogiri. Tapi sebenarnya kamu tidak hanya sedang di Wonogiri. Besok akan ada peristiwa penting di Tanah Air.”

Siangnya, 27 Januari 2008, di penginapan di Sala saya baca SMS Pak Harto berpulang. Teman dan sekaligus guru dalang saya di Purwokerto yang mendengar siaran langsung acara Kudus telepon. “Wah ramalanmu dulu tepat,” katanya.

Saya bingung. Pertama, bingung karena sudah lupa pada ramalan itu. Wong seingat saya di Kudus itu asal njeplak. Kedua, bingung kok bisa tepat secara kebetulan.

Belum lenyap rasa bingung saya pintu kamar hotel ada yang mengetuk. Ada tiga wartawan dari Global TV Jakarta yang sudah terbang ke Sala. Minta saya membawakan tembang untuk ilustrasi berita-berita Global TV buat meninggalnya Pak Harto.

Spontan saya sanggupi karena kebetulan saya sudah punya tembangnya, yang saya simpan lama dan ndak pernah tahu kapan akan saya bawakan. Tembang tentang kepemimpinan ini saya bikin lima tahunan lalu atas dasar buku Abad Kejiwaan karya pemuka Buddha, Senosoenoto (alm.). Dan ketika bikin ada terbersit sedikit niatan buat Pak Harto.

***

Kisah itu pernah saya sampaikan pekan lalu ke Pak Moerdiono, juru bicara keluarga Cendana di saat-saat terakhir Pak Harto. Tapi Pak Moer kurang jelas ekspresinya, percaya cerita saya atau tidak. Dalam hati saya bilang, “mannna ekspresssiiiiiinyaaaaa….” Saya berharap Pak Moer tidak percaya klenik.

Ya, hidup saya penuh pengalaman klenik tapi ndak percaya klenik dan menyarankan Ibu-ibu serta pembaca sekalian untuk tidak percaya klenik. Makanya saya hepi banget ketika Ringgo Agus Rahman, aktor dan bintang iklan, bikin banyak pernyataan segar tentang klenik ketika kami wawancara:

…soal susuk ya…elo aja yang demen ama dia tapi gak berani deketin. Kalo orang dasarnya udah cantik ya tetep akan cantik. Banyak orang yang sirik aja sih…soal pelet…Saya baru percaya ada pelet kalau misalnya…Luna Maya pacaran ama gelandangan. Nah tuh gelandangan pasti pake pelet. Dijampi-jampi. Kan sekarang buktinya nggak. Artis yang cantik-cantik pacarnya juga yang seimbang kan?

Yang lebih serem lagi, misalnya santet. Itu kan lebih jahat ya. Ada teman saya yang sakit parah. Katanya dia bisa begitu karena disantet orang. Buat saya mah, memang kesehatannya sendiri aja yang parah. Dianya aja yang gak bisa ngatur badannya sendiri.

***

Atau mungkin tepatnya begini. Saya menganjurkan Ibu-ibu tidak percaya klenik yang kini kian merebak. Bahkan Britney Spears juga percaya dukun. Tapi jangan sampai menghina yang percaya klenik. Tiga hari lalu melalui pengusaha cargo Pak Monang Sianipar saya kenal Umar Manik. Orang Samosir berusia 56 tahun ini sekarang amat berjasa pada pelestarian lingkungan sekitar Danau Toba terutama pada pemeliharaan monyet yang tetap dibiarkannya liar di hutan Samosir. Awalnya?

Tahun 1984, Pak Manik antara sadar dan tidak, kedatangan sosok serbaputih. Pak Manik disuruh memanggil satu-dua kera yang masih hidup di Samosir untuk dikasih makan supaya berkembang-biak. Manggilnya pakai alat tiup. Apa alat tiupnya?

Sosok serba putih antara ada dan tiada itu nyuruh Pak Manik ambil tanduk kerbau jantan yang belum pernah kawin, yang disembelih untuk upacara adat pernikahan Batak.

“Kalau pakai alat tiup lain, monyet tidak datang. Alat tiup dari tanduk kerbau jantan yang belum pernah kawin ini suaranya ternyata bisa didengar monyet dalam radius 3 km,” kata Pak Manik. Dan kini di lingkungannya telah berkembang seribuan monyet dalam delapan kelompok, dari keadaan hampir punah di tahun 80-an.

(Dimuat di harian Sindo No. 76, tanggal 7 Maret 2008)