AREA 2007 - 2008

Waduh, Jakarta Utara…

3,500 Views

Tahun 2010 nanti tepat saya 20 tahun ikut-ikutan mengais rezeki di Jakarta. Sekarang artinya udah nyaris 20 tahun hidup di Jakarta. Cukup lama. Tapi orientasi saya tentang ibukota masih kacau.

Saya tinggal di Jakarta Barat. Tapi pas mengurus paspor sebelum perkara paspor dibikin online seperti sekarang (artinya saat ini saya bisa urus paspor di imigrasi Mampang, Jakarta Selatan), saya pergi ke kantor imigrasi Jakarta Barat di dekat Stasiun Kota.

Tadinya saya berpendapat, Stasiun Kota dan sekitarnya termasuk kantor imigrasi itu sudah masuk wilayah Jakarta Utara. Patokannya gampang. Di situ, sampai kawasan Mangga Dua, masih ada tukang ojek sepeda. Ini sudah langka di Jakarta Pusat, Barat maupun Selatan dan Timur.

Dan di kawasan itu ada Museum Fatahilah. Dari namanya saja, pasti kawasan ini dekat-dekat dengan laut. Kan nama-nama Fatahilah mudah dihubungkan dengan Batavia, Sultan Agung dan lain-lain tokoh sejarah kelautan. Artinya pasti wilayah utara. Suasananya sudah suasana laut, ada atau tidak ada Pelabuhan Sunda Kelapa.

Bisa jadi karena kompas di dalam otak saya selalu kacau. Sampai-sampai sekarang pun saya ndak percaya Manggarai itu ternyata masuk Jakarta Selatan. Selama belasan tahun berkali-kali saya pergi ke Manggarai, tubuh saya seakan tetap aja bilang itu sudah wilayah Jakarta Pusat.

Sebenarnya mau Jakarta Pusat, Barat, Selatan, maupun Timur, saya nggak masalah. Ketukar-tukar antara Jakarta Pusat dan Selatan no problem. Yang penting, kawasan yang saya duga sebagai Jakarta Pusat atau Barat, Timur atau Selatan itu ternyata memang benar-benar bukan Jakarta Utara.

Mungkin karena bunyi suatu nama punya pengaruh. Mendengar kata Jakarta Utara, mau disingkat atau lengkap, sama aja. Telinga saya langsung panas. Seperti kalau saya dengar kata Serang, Serpong, Soreang, Cirebon, Garut, Semarang, Tegal dan lain-lain. Beda dengan kalau telinga saya mendengar ucapan Bandung, Cianjur, Bumiayu, Sindanglaya, Kudus (meski Kudus itu panas).

Telinga saya sudah panas mendengar Jakarta Utara maupun Jakut sebelum saya sedikit tahu tentang kawasan ini. Pas menjemput saudara datang dari Medan via Priok, atau pas mengantar saudara pulang Kendari via laut (Priok), makin panas lagi telinga saya setiap mendengar Jakarta Utara. Apalagi terus sering melihat banyaknya truk-truk tronton di kawasan Ancol.

Seorang kawan pekan lalu berpameran di sebuah galeri di kawasan Kelapa Gading. Saya sudah mau berangkat ke pembukaannya. Tapi pas tanya sana-sini ternyata galeri itu berada di kawasan Jakarta Utara, saya batal pergi.

Mungkin juga karena dibanding Jakarta daerah lainnya, Jakarta Utara itu penonton wayangnya lebih “norak” dan lebih “brutal”. Mendalang di kawasan Jakarta relatif masih enak kecuali di Jakarta Utara. Di Jakarta Utara itu penonton wayang maunya cuma adegan perang dan musik gamelan yang dibikin dangdutan. Waduh!

Sekarang ditambah pengetahuan tentang penuruan muka tanah yang nyaris 1 meter di wilayah utara, pengikisan air laut, intrusi alias masuknya air laut ke dalam tanah…berkurangnya hutan bakau dan sebagainya…waduh, makin gak kebayang saya hidup di Jakarta Utara. Ntah nanti-nanti.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 36, tanggal 13 Agustus 2008)