Waktu memang cepat berlalu. Ini klise. Tapi masa’ saya harus bilang bahwa waktu tidak cepat berlalu agar tidak klise?
Rasanya pagi itu baru kemarin saya dan Rendra serta istrinya, Ken Zuraida, sarapan nyaris subuh-subuh di rumah mereka di Depok. Ternyata itu telah lewat duapuluh tahunan.
Saya baru ngeh ketika November kemarin ketemu Mbak Ida di Taman Budaya Jawa Timur. Ia mementaskan drama Mastodon dan Burung Kondor, karya saduran dari suaminya yang telah almarhum.
“Persiapan kami berbulan-bulan,” kata Tika, salah seorang pemain teater Mastodon tentang latihan di sanggar almarhum di Cipayung.
Berbulan-bulan? Sudah jarang lho sekarang ada pentas pakai latihan lebih dari seminggu. Mbak Ida memang total mencintai dunia suaminya.
Lagi. Rasanya pagi itu juga seperti baru kemarin ketika di suatu teras rumah, di bilangan Setiabudi Jakarta, saya ngobrol dengan Ratna Riantiarno. Obrolannya yang paling saya ingat tentang kekaguman sekaligus kejengkelan Mbak Ratna pada suaminya, Mas Nano Riantiarno.
Jengkelnya, Mas Nano susah main kompromi dengan sponsor untuk urusan pasang logo dalam pementasan Teater Koma. “Mas Nano hanya mau ada iklan di luar panggung,” kata Mbak Ratna, pemain yang juga sibuk di bagian produksi.
Tetapi lihatlah, hingga Pak Harto lengser dan presiden telah berganti beberapa kali Mbak Ratna dan Mas Nano tetap manggung. Teater Koma nyaris menjadi satu-satunya kelompok yang konsisten menyelenggarakan pementasan.
Waktu juga serasa baru kemarin ketika saya sering bertandang ke tempat pasangan Jajang dan Arifin C. Noer di kawasan Blok A Jakarta. Jajang tak seperti Mbak Ida maupun Mbak Ratna yang mementaskan karya-karya suaminya.
Tapi Jajang, kini dengan akun twitter @ibutjantik, tetap setia pada jalur akting. Inilah jalan hidup yang dulu, saat yang rasanya baru kemarin itu, pernah ia tekuni bersama almarhum suaminya.
Ah, waktu memang cepat ber…
Heuheuheu…maafkan kalau di zaman sudah digital ini saya tetap klise walau dunia potret-memotret sudah langsung jadi tanpa klise, tanpa di-afdruk lebih dahulu.
Habis mau tidak klise bagaimana? Rasanya pagi itu, di Grand Indonesia, baru kemarin saya ketemu Mas @PeterGontha sebagai pengusaha. Waktu pesat bergulir. Kini Mas Peter lebih dikenal sebagai tokoh Java Jazz.
Maksud saya dunia kesenian bukan yang tiba-tiba ia geluti. Sejak dulu ia mencintai jazz bersama istrinya. Waktu saja yang membuat pada suatu ketika ia lebih seperti pengusaha dan “Donald Trump”-nya Indonesia. Pada ketika yang lain bersama putrinya Dewi Gontha ( @DGontha ) ia lebih jadi tokoh di balik perhelatan musik berkala.
Dan dua “ketika” itu serasa dempet. O, waktu benar-benar cepat ber….
Heuheuheu…Maafkan kalau saya kembali klise.
Tapi ini sebenarnya bukan soal waktu. Sebenarnya ini soal pasangan. Bagaimana suatu pasangan tidak cuma melahirkan anak kandung secara fisik. Anak kandung itu bisa berupa karya-karya buat kemaslahatan bersama.
Itulah cinta yang tak eksklusif seperti diajarkan dalam cinta inklusif tembang Dhandhanggula Sidoasih: Cinta kita berdua harus menumbuhkan cinta pada sesama.