AREA 2009 - 2010

AREA 64 Bir pada Masa-masaku

4,340 Views

TejomusikTahun 80-an ada seorang tokoh asal Riau yang dijuluki Presiden Penyair Indonesia. Namanya Sutardji Calzoum Bachri. Almarhum Rendra memuji Tarji, panggilannya, sebagai penyair terbaik negeri ini. Sebaliknya Tarji memuji Rendra sang penyair Burung Merak sebagai yang terpuncak. Kedua maestro itu saling mengunggulkan

Mana yang sesungguhnya juara sudah tidak penting lagi. Yang jelas, Tarji yang dikenal sebagai pencipta sajak-sajak mirip mantera, mulai banyak pengikutnya. Termasuk cara pembawaannya di panggung yang bertolak belakang dari gaya Rendra yang indah seperti Merak. Banyak yang mengikuti gaya Tarji  yang garang dengan wajahnya yang brewokan, tatapan mata yang sangar dan menyeringai, dan suaranya yang parau.

Termasuk pula gaya Tarji yang pada periode 80-an itu selalu minum bir ketika membacakan sajak-sajaknya di panggung. Penonton akan mendengarkan mantera-mantera yang dibawakannya dengan suara lantang-lantang serak sambil melihat rambut gondrong Tarji serta botol-botol birnya di panggung.     Saya termasuk pengagum Rendra dan Tarji. Dan mungkin karena itu maka di awal 90-an ketika mendalang semalam suntuk di manapun saya selalu minum bir. Langsung dari botolnya juga. Kadang bisa sampai tujuh botol.

Hanya sekali bir itu tidak saya tenggak langsung dari botol ketika mendalang di pesantren Emha Ainun Nadjib di Jombang, di awal-awal Cak Nun baru manten anyar ama Novia Kolopaking. Bir saya masukkan di kendi. Saya tuang “air kendi” itu ke gelas, lantas saya meminumnya dari gelas seolah-olah meminum air. Novia yang duduk tak jauh dari panggung pasti juga menyangka Ki Dalang sedang minum air putih malam itu.

Yang sedang diminumnya adalah jenis air yang cukup kuno, yang resepnya sudah tertulis di prasasti tanah lihat Mesopotamia dan Mesir pada 4.300 tahun Sebelum Masehi, dan sudah pula dibuat oleh bangsa Cina kuno, Siria serta suku Inka.

Ini bukan jenis air yang baru ditemukan oleh masyarakat Betawi pada zaman kolonial Belanda, yang sering disalahkaprahkan dengan sebutan bir, yaitu Bir Pletok. Itu lho minuman dari rempah-rempah alami yang tujuannya buat penyegar dan kebugaran masyarakat Betawi.

Lantas kehidupan terus berlangsung, dengan proses-proses perubahan yang terjadi di dalamnya. Antara lain saya bertemu dengan orang yang sangat menyukai wine. Dia bilang wine dengan takaran tertentu lebih baik daripada bir. Wine bagus untuk kelancaran peredaran darah. Sejak itu saya pelan-pelan bergeser dari bir ke wine.

Tapi kehidupan masih saja terus berlangsung dengan proses-proses perubahan yang terjadi di dalamnya. Ternyata yang paling murah dan khasiatnya juga terbukti dapat melancarkan peredaran darah adalah berjalan kaki pagi hari sekitar 20 menit.

Tentu saja bir dan wine tak harus ditinggalkan sama sekali, sejauh masih tertakar. Ya, kuncinya adalah tertakar. Jalan kaki yang katanya bagus itu toh tak baik jika kita lakukan secara berlebihan.

Bir, baik jenis ale, lager, pilsener dan bir hitam, tak bisa ditinggalkan saya duga karena ada campur-campur rasanya antara manis dan pahit. Seperti melinjo, jengkol dan pete sebagai lauk dan warna dalam makanan yang manis.

Seperti ketika sedang kita seruput kopi.