Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 08 Togog Mbilung, Riwayatmu dulu …

7,918 Views

Episode008Togog nganggur. Rasakno. Modar. Kapokmu kapan. Lagi pertama ini Panakawan yang biasanya bekerja untuk kaum oposisi itu nggak onok gawean. Mulutnya yang lebih lonjong ketimbang mulut bebek makin lonjong saja. Maklum, lha wong posisi sudah tidak ada lagi. Semua partai berubah jadi mendukung partai penguasa. Togog kecut, Rek.

Tambah mumet lagi istri Togog. Saben hari lihat bojo-nya thengak-thenguk nduk depan pintu rumah, dengan matanya yang melotot tapi ngantuk, dan bibir lonjongnya yang semakin ndoweh. Malu sama tetangga-tetangga. Ada tetangga yang naik sepeda sampai berhenti dan turun. Dia tanya, “Mas Togog sedang cuti to kok tiap pagi ndlahom di depan rumah?”

Togog sebenarnya bisa tahan disapa tetangga secara nyelekit seperti itu. Tapi istrinya yang nggondok. Apalagi ketika ada tetangga anyar, turun dari mobil pas mau pergi ke mana gitu, tanya ke istri Togog. ”Permisi,” sapanya, ”Bu, Bu, celengan ibu yang tiap hari ditaruh di depan pintu ini apa memang mau dijual?”

Mbok Togog mencak-mencak. Wah, kalau waktu itu tidak sedang ada mobil patroli polisi yang lewat pelan-pelan di depan rumah Togog, sudah habis tetangga baru itu diinjak-injak oleh Mbok Togog.

Togog menenteramkan hati istrinya. ”Sudahlah, Mam,” kata Togog, ”Jangan marah. Ndak papa suamimu yang ngganteng ini dianggep celengan. Orang sabar itu jembar rezekinya…”

Lho, Kang Togog, aku marah-marah prasamu karena orang majenun itu menghina kamu? Bukan. Sampeyan dianggep celengan ya aku ndak patheken. Olaopo aku marah. Aku muntab karena kesel kok di zaman serbasusah seperti ini masih saja ada orang yang bisa-bisanya nabung…Sombong sekali orang itu…”

Togog hampir saja marah disembur istrinya seperti itu. Tapi ia segera teringat omongan pelawak Kartolo, bahwa orang marah itu ibaratnya menggendong buto, menggendong raksasa. Apalagi istrinya yang selama Togog nganggur ini mukanya sudah ditekuk terus baru saja marah-marah soal rencana kepergian Togog. Ditambah marah soal celengan, bisa-bisa istrinya histeris kalau melihat Togog ikutan marah.

Soal rencana kepergian Togog yang didamprat istrinya itu begini. Tadi sekali, sebelum ada tetangga ribut soal celengan, Togog permisi hendak pamit mau ke pasar. Maksud Togog daripada dia ngganggur di rumah terus karena sudah tidak ada lagi oposisi, sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai lapangan pekerjaan, lebih baik dia keluar rumah. Ini agar istrinya tidak malu sama tetangga punya suami klentrak-klentruk.

Eh, belum selesai kalimat pamitan sang Togog, istrinya sudah menyambar. ”Buat apa pergi ke pasar???” kata sang istri, ”Di pasar itu sudah banyak orang. Sudah ramai. Ndak ada gunanya. Kalau Sampeyan mau ngramek-ngramekno tempat pergi ke tempat-tempat yang masih sepi. Ke dalam sumur. Ke dalam laut.”

Lho, Dik, aku ini pergi bukan untuk ngramek-ngramekno pasar. Namanya pasar yo mesti wae ramai. Sing sepi iku nek gak kuburan yo Pulau Ambalat. Aku ini ke pasar justru mau menukarkan kopiah yang kamu belikan dulu, yang nggak pernah kepakai karena kekecilan, kepalaku nggak bisa masuk. Padahal sekarang ini pas lagi nganggur, pasti kita sudah tidak kebeli lagi kopiah.”

Nggak usah ke pasar. Sampeyan itu kakean pertingsing, kakean polah. Kopiah kekecilan ndak usah ditukar. Sekarang kepalamu saja dikecilin!!”

Wah, kalau istri Togog sudah seperti itu, suaminya tidak berani meneruskan pertengkaran. Togog hanya mencari akal lain. Ia bersama sahabatnya yang juga sama-sama kehilangan kerja akibat sirnanya kaum oposisi, yaitu Mbilung, kompakan. Suatu hari Mbilung berpakaian satpam datang menjemput Togog plus membawakan seragam pakaian satpam. Togog pamit ke istrinya sudah keterima menjadi satpam Bank Century yang kabarnya sudah ditutup.

Mbilung tanya, ”Lho nanti kalau Mbak Yu tanya kan Bank Century sudah tutup…Yok opo?”

Ah, dia tidak akan tahu Bank Century masih ada atau tidak,” kata Togog kalem, ”Karena dia itu perempuan biasa. Belum pernah jadi menteri keuangan.”

Pulang dengan masih memakai baju satpam, Togog membawa uang, seolah-olah itu uang honorarium. Wah, istri Togog senang sekali. Besoknya lagi Mbilung datang dengan pakaian jaksa plus membawa seragam kejaksaan buat Togog. Togog berangkat de­ngan pakaian kejaksaan. Pulang membawa duit. Istri Togog juga senang.

Nah, itu baru laki-laki, Kang, baru manusia, bukan celengan,” pujinya.

Besoknya lagi Mbilung datang berpakaian polisi. Ia membawakan pula pakaian polisi untuk Togog. Keduanya lantas pergi sama-sama berseragam polisi. Esok lusanya lagi, Mbilung datang berpakaian petugas KPK. Sama, ia juga bawakan pakaian KPK buat Togog. Kedua ”petugas KPK” yang kemarin berseragam ”polisi” itu pergi. Pulang membawa duit. Istri Togog sumringah.

Mbilung ragu, ”Nanti Mbak Yu tanya, KPK dan polisi kan lagi ribut, masa kita kemarin bisa kerja di tempat KPK dan kemarinnya lagi di tempat polisi?”

”Sudahlah, tenang saja. Istri saya tuh tidak akan tahu bedanya KPK dan polisi. Dan apakah keduanya sekarang lagi ribut, termasuk dengan kejaksaan. Karena istri saya itu perempuan biasa. Belum pernah jadi presiden.”

Esoknya lagi pasangan sahabat Togog-Mbilung itu pergi lagi dengan pakaian petugas Departemen Perhubungan. Sayang, pulangnya mereka tidak kuasa membawa duit. Istri Togog mulai kembali sinis.

Selidik punya selidik, Semar-Gareng-Petruk-Bagong yang merupakan sejawat Togog-Mbilung sudah kehabisan duit buat ngasih utang harian pada Togog-Mbilung. Semar-Gareng-Petruk-Bagong memang punya bos yang lagi berjaya, yaitu penguasa…Tapi namanya duit kan seperti umur juga, ada batasnya.

Esok harinya Togog-Mbilung kompakan masang iklan yang ditempel-tempel di pohon, tembok, tiang listrik, dan lain-lain. Di antara iklan guru privat, sedot wc, badut, sulapan, baby sitter, dan lain-lain.

Menerima pekerjaan apa saja termasuk menghias coro…Pengalaman, pernah menjadi penghibur kaum oposisi… Atas nama Bangsa Indonesia dan perindu kerja, Togog-Mbilung. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo