AREA 2009 - 2010

AREA 78 Bekal Makanan ke Piala Dunia

4,250 Views

TejomusikBanyak yang heran, termasuk saya, masa sih dari 240 jutaan penduduk Indonesia kita nggak sanggup nyari 11 orang terbaik buat tim nasional ke Piala Dunia? Lantas seperti biasa, saling tunjuk pun berlangsung.

Ada yang menunjuk tabiat asli kita. Katanya kita tuh orangnya susah kerja sama. Lain kalau buat penampilan tunggal atau paling banter ganda. Sebut misalnya Nova Widianto dan Alvent Yulianto Chandra di bulu tangkis atau Utut Adianto di catur.

PSSI tak luput pula dari tudingan. Sedemikian parahnya organisasi itu sampai-sampai tak sanggup bikin kaderisasi pemain. Parah namun betapa kuat organisasi itu. Sampai-sampai, kabarnya Presiden SBY pun tak kuasa mengganti Nurdin Halid sebagai pemimpinnya.     Tak pelak pula tudingan mengarah ke mental para pemain itu sendiri. Suap-suapan disinyalir masih gencar terjadi. Mungkin karena KPK tidak mengembangkan sayap penyidikannya sampai ke pemain bola. Di lingkungan birokrat saja, wilayah KPK beroperasi, sogok-sogokan masih banyak.

Bagaimana kalau sekarang saya menuding ikan. Ikan-ikan di negeri kelautan inilah penyebab merosotnya prestasi sepakbola kita. Mereka hanya membolehkan kita memakan 25,03 kilogram per orang per tahun. Padahal Badan Kesehatan Dunia WHO bikin standar minimal 31,4 kilogram.

Perancis yang konsumsi ikannnya di atas itu, 36 kilogram per kapita per tahun, masih lebih rendah dibanding Spanyol dan Portugal. Jadi, bagaimana kita akan melawan Portugal?

Tanggal 1 Juni lalu, pas lahirnya Pancasila, ditetapkan sebagai Hari Susu Nusantara. Nah, ternyata, selain kekurangan ikan, kita pun kekurangan susu. Kita cuma minum susu 9 liter per orang per tahun. Tetangga kita saja, Malaysia sudah 25,4 liter. Singapura lebih-lebih, 32 liter.

Mungkin ke depan, makanan dan jajan murah kita disyaratkan mesti mengandung ikan maupun susu. Soalnya tidak setiap orang doyan ikan dan susu, kecuali kalau keduanya sudah diolah dalam adonan bareng yang lain-lain.

Akibatnya mungkin harga jadi naik. Makanan yang tidak mengandung ikan dan susu akan tetap murah. Orang akan tetap pilih yang murah. Dalam keadaan kepepet, pertimbangan dompet jauh lebih menentukan ketimbang pertimbangan mutu.

Lebih bahaya mana coba, tidak terpilih sebagai pemain bola atau kebakaran dari tabung gas? Tentu yang terakhir lebih berbahaya, seperti yang akhir-akhir ini kerap kejadian, yaitu kebakaran dari tabung gas 3 kilogram. Tapi masyarakat tetap memilih membeli peralatan tabung gas yang tidak pakai label Standar Nasional Indonesia, karena harganya lebih murah.

Gini deh, bagaimana kalau nggak usah maksain olahan makanan berkandungan ikan dan susu. Apalagi susu baru dikenal oleh bangsa Indonesia lewat penjajahan Belanda abad ke-18. Kalau tidak mampu, meski menurut Koes Plus kita ini negeri “kolam susu”, kembali saja ke local wisdom yang jauh lebih mengakar ketimbang susu. Misalnya kunci.

Rempah-rempah yang mirip kunyit dan lengkuas itu kerap dipakai dalam sayur asam zaman dulu. Ini saja yang kita perbanyak variasinya untuk berbagai makanan sehingga nanti tidak cuma terkandung dalam sayur asam.

Jangan anggap remeh kunci. Korea Selatan yang dikenal sebagai negeri ginseng, konon sekarang sudah mengalihkan perhatiannya pada kunci, dan mereka melakukan studi besar-besaran untuk itu.