Lagu berbahasa Jawa Lama yang orang Jawa sendiri mungkin juga tidak mengerti makna verbalnya, saya compose karena heran. Heran, mengapa cinta harus dinyatakan dengan bunga, perilaku, kata-kata dan berbagai simbol kasat indra? Bagaimana kalau kita “matikan” pancaindra, sebagaimana dilakukan para pertapa, lalu merasakan cinta tak dengan indra yang kerap mengecoh?
Salam,
Sujiwo Tejo
CINTA TANPA TANDA
Album: Syair Dunia Maya
blas sun kuras wis samudraning waspo
Wosing panggah tresnamu tan montro
Sun saparing, saklimah, tengaraning wae
Kae Pamothat ujarmu kaladuk
kedlarung uba rampe tresnaku
Panggah tresnamu pungguh tanpo tondo
Masasi warso mawindu-winduan (Misungsung)
Sun ungkal sun unus idep pangroso
(ngrasakke tondo)
Tak wutakke netro panamatku mung lumantar roso (Ngrasakke to do)
Rekodoyo ponco indrio gyo wus tuntas tak singkurke
Mung mantheng sun tyaske sakabeh kang tak kasat ndriyo
Ujarmu
I. Sun makasih ngguyu ndriyo gang gawe kecele
II. Sun makasih panggah tuwin pungguh tuwin puguh tuwin nggugu driyo kang gawe kecele
Lirik versi Bahasa Indonesia
Telah ku tandakan semesta cintaku
kau tandaskan cinta tanpa tanda
Kuhasratkan isyarat sahaja
kau isyaratkan pintaku terlampau
terlampau berprasyarat cintaku
Kau isyaratkan cinta tanpa tanda
Berulang berbulan berwewinduan (kurindu)
Kupejam kutajamkan asah rasa (kubaca tanda)
Mata kubutakan terawangku hanya dengan rasa (kubaca tanda)
Kuping hidung lidah rabaanku pun telah kuenyahkan (kubaca anda)
Tipu daya panca indrapun telah tuntas kusingkirkan (kubaca tanda)
Kutandai kurasai semesta yang tak kasat mata
Katamu kumasih jadi budak pancaindra yang membuatku terkecoh
Personil:
Hendri Lamiri: Lead Guest Violin
Sujiwo Tejo: Pemusik kata-kata, pe,usik kata-kata latar, Trumper, Trombone
Bang Saat Borneo: Suling
Bintang Indrianto: Bass, Teriakan.