AREA 2007 - 2008

Di Atas Pematang, Mengantar “Brunch”

3,463 Views

Sarapan saya kira adalah salah satu bentuk lain cara Tuhan mencandai manusia. Pola guyon pertama adalah aurat. Tuhan kasih visualisasi yang indah-indah pada tubuh manusia. Tapi bersamaan itu Dia nyuruh kita menutupi aurat.

Dan Dia cuma minta kita membayangkan apa yang terdapat di balik kain penutup aurat. Misalnya melalui flora. Ada mentimun dan pisang untuk asosiasi penis. Ada pepaya, melon dan lain-lain untuk image payudara. Ada beragam tipe bunga yang mirip vagina. Dan sebagainya.

Kini dibuktikan, makan pagi alias sarapan lebih penting ketimbang makan siang dan makan malam. Tapi kita tahu, justru pada pagi hari itu orang malas makan. Kalaupun tak malas, setidaknya selera makan belum timbul. Ini mirip makan sahur yang sangat baik dilakukan pas puasa, tapi umumnya kita malas melakukan itu.

Padahal teman-teman kita di kedokteran bilang, pada pagi hari kalori di hati sudah kosong. Ini karena kalori telah digunakan sepanjang siang dan malam sebelumnya. Otak kembali memerlukan konsentrasi gula darah yang konstan melalui sarapan.

Jadi pas kita lagi bener-bener memerlukan sesuatu, kita ndak semangat buat mendapatkan sesuatu itu. Pas kita kurang membutuhkan sesuatu, seperti makan siang dan makan malam, kita malah terpacu buat mendapatkan sesuatu itu.

Belum lagi kalau mau itung-itungan untung rugi. Karena paginya kita sarapan seadanya, maka makan siang di sini lama dan komplet. Bentuknya juga tak sesederhana makan siang rata-rata orang Inggris, Kanada, Australia dan Amerika. Umumnya makan siang mereka cuma roti sandwich dan jus. Maklum, paginya mereka sudah sarapan dengan menu yang bagus.

Makanya orang-orang di Nusantara ini abis makan siang ngantuk. Ngurus KTP, SIM, dan lain-lain seyogyanya jangan pas abis makan siang. Sampeyan akan berhadapan dengan pegawai yang melayani sampeyan dengan ogah-ogahan sambil menguap-nguap.

Malapetaka juga menimpa para pembicara, panelis dan pengisi acara seminar yang kebagian jadwal habis makan siang. Mereka harus lebih konsentrasi menyiapkan guyonan ketimbang materi seminar agar peserta tidak pulas tertidur seperti anggota parlemen.

Ngomong-ngomong soal makan, saya teringat masa kanak-kanak di kawasan Jember, Situbondo dan Besuki, Jawa Timur. Para petani seingat saya sarapan seadanya. Tapi di antara makan pagi dan makan siang saya lihat para perempuan membawa makan melalui pematang untuk suami mereka. Itulah brunch alias makan di antara makan pagi (breakfast) dan siang (lunch).

Apakah brunch itu sebenarnya sudah jadi tradisi kita? Mungkin inilah pola guyonan ketiga dari Tuhan setelah soal aurat dan sarapan. Yaitu, sesuatu yang semula sudah jadi milik kita alias tradisi lantas lenyap. Kita harus belajar dari orang luar seolah-olah kita tak pernah memilikinya.

Kita harus belajar lagi menanam flora secara beragam agar lingkungan lebih terpelihara, padahal sebelum penjajah memperkenalkan monokultur (kalau padi, padi saja, kalau jagung, jagung saja) kita sudah terbiasa dengan multikultur. Sisa sejarahnya masih ada.

Nanas Subang melimpah, tapi coba cari saja kebun nanas di Subang. Sampeyan akan susah mendapatkannya. Tak ada eksklusif kebun nanas. Karena secara multikultur tradisi mereka, nanas terselip di antara pohon-pohon teh.

Kita harus belajar lagi soal brunch, padahal mungkin tradisi itu sudah pernah kita miliki.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 24, tanggal 29 Januari 2008)