Sindo

Ini Soal Bola, tapi tak Cuma Bola

3,250 Views

Ibu-ibu, ini soal bola. Saya tak usah minta maaf. Bola kan tak cuma melulu perkara lelaki. Sepakbola perempuan juga marak. Buktinya akhir tahun lalu Sepp Blatter, Presiden FIFA, organisasi sepakbola dunia, ngasih penghargaan pemain bola puteri terbaik di negara tetangga kita, Malaysia.

Ngomong-ngomong soal bola, Bu, berikut segala keruwetannya termasuk tawurannya hingga menewaskan seorang supporter Persija 6 Februari lalu, yang meski ibunya mengaku pasrah tak terbendung juga tangisnya, yang Kapolda Metro Jaya Adang Firman sampai keberatan dalam tempo dekat diselenggarakan pertandingan di…aduh…jadi panjang banget kalimat saya…

Intinya, ngebahas soal bola, saya jadi teringat suntikan.

Maksud saya, kenapa soal bola dicari sumber perkaranya pada bola itu sendiri? Soal ketidakadilan wasit maupun hakim garis. Soal Ketua Umum PSSI yang dinilai tak punya riwayat bersih dari korupsi. Soal perbedaan kebijakan polisi dan panitia. Polisi tak oke ada botol di dalam stadion. Khawatir jadi bahan lempar-lemparan. Tapi panitia membolehkan pedagang minuman botolan masuk stadion.

Ini yang saya maksud ingin menyembuhkan bola melalui bola itu sendiri. Padahal, kalau kita sakit kepala belum tentu kepala kita yang ditusuk jarum. Bukankah kalau kita menderita maag yang dipijat belum tentu kawasan perut?

Mungkin karena tubuh manusia itu organis. Sakit satu sakit semua. Nikmat satu nikmat seluruh. Cobalah kenang ciuman pertama Ibu-ibu dulunya. Yang nikmat kan bukan bibir tok! Sekujur badan bahkan jiwa! Cobalah makan sea food yang enak-enak di kawasan Batu Tulis Jakarta Pusat. Rasa lezat tak hanya di ujung dan pangkal lidah. Segenap badan turut terlezati.

Dan sebaliknya. Saat Ibu-ibu sakit gigi, belum tentu Ibu-ibu mencak-mencak karena gigi ibu diketuk, dipalu bahkan dicongkel orang. Kadang cuma karena telinga, ibu tak tahan dengar suara orang. Telinga ikut sakit.

Maka saya setuju banget ama Mas Sartono Mukadis, psikolog, bahwa keributan pada setiap pertandingan sepakbola dipicu oleh keresahan sehari-hari masyarakat di luar stadion. Lapangan hijau hanya kebetulan saja jadi ajang “curhat” buat semua itu.

“Curhat” karena biaya pendidikan secara riil makin mahal. Harga-harga kebutuhan pokok makin melangit. Belum bahan bakar. Ongkos kesehatan dan sebagainya.

***

Saya belakangan lebih sering pakai prinsip mengutamakan tujuan. Tak harus berarti “tujuan menghalalkan segala cara”. Tapi, sebisa mungkin, tujuan itu mesti kita yakini betul sebagai sesuatu yang benar, baik dan indah. Yaaah, lalu apa boleh buat kalau untuk menggapai tujuan itu kita agak memakai cara-cara yang “haram” dikit-lah, dalam arti “keharaman”-nya masih bisa kita tolerir.

Saya jadi teringat film Victory yang dibintangi Sylvester Stallone, dan bintang bola legendaris Pele turut main. Ini film tentang pertandingan bola antara Jerman dan tawanan Sekutu saat menjelang Perang Dunia II.

Babak pertama score 4-0 untuk Jerman. Rencana rahasianya, pemain-pemain Sekutu yang ditawan Jerman itu akan lari pada saat istirahat melalui ruang ganti menerobos ruang bawah tanah dan drainase kota.

Bak kamar mandi ruang ganti sudah dijebol dan terhubung dengan ruang bawah tanah. Pemain-pemain tawanan sekutu sudah di ruang bawah tanah, tapi mendadak salah seorang ingin melanjutkan pertandingan babak II. “Ini soal martabat. Ini soal kehormatan,” kata salah seorang pemain, yang akhirnya dituruti oleh yang lain.

Babak kedua berlangsung. Tapi menjelang satu menit usai, score cuma beranjak 3-4 buat Jerman. Di penghujung pertandingan secara indah tokoh bola Sekutu yang diperankan Pele bikin tendangan salto. Kedudukan 4-4. Wah tiba-tiba ada hukuman penalti buat Sekutu. Untung kiper Sekutu yang diperankan Stallone bisa nangkap bola.

Nah, pada saat bola ditangkap itu, ini yang mau saya ceritakan, tujuan menghalalkan cara. Penonton yang atas permainan bersih Sekutu, bersimpati pada Sekutu, segera merangsek ke lapangan. Pagar-pagar pembatas lapangan terdobrak oleh duyunan massa. Ribuan orang merubung para pemain Sekutu. Mereka ganti kostum pemain dengan jas, jaket dan apa saja sehingga para pemain baur tak terdeteksi. Tawanan raib!

Tujuan mulia, agak menghalalkan sikik-sikik suatu cara.

***

Tentu ada juga jenis sakit yang penyembuhannya persis pada tempat sakit misalnya borok.

Gini lho, maksud saya, Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault pernah bilang, tata cara internasional FIFA melarang government ikut campur masalah keorganisasian bola di suatu negara termasuk soal Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Itulah kenapa kok government diam saja ketika kalangan masyarakat meminta Nurdin mundur.

Lho!? Kalau tujuannya mulia, untuk mutu persepakbolaan kita, kenapa nggak government ikut campur saja? Takut pada sanksi internasional misalnya PSSI ndak boleh tanding di luar? Ya itu risiko. Tapi kita pasti ada yang ndukung deh.

Buktinya Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berani menentang supremasi WHO selama 60 tahun, dengan tidak mau lagi ngirim virus flu burung ke WHO sejak tahun lalu. Kita akhirnya didukung oleh banyak negara setelah Iran menyatakan dukungannya.

Kalau perempuan bisa, kenapa laki-laki tidak bisa?

Dengan kalimat bersayap, presenter olahraga Tamara Geraldine bilang buat tulisan ini, “Kalau mau olahraga kita maju, khususnya sepakbola, kita harus hancurkan rumah lama dan ganti dengan rumah yang baru!”

Dengan kalimat yang diplomatis, atlet Moreno Soeprapto bilang buat tulisan ini, “Kalau menurut saya, pengurus PSSI sebenarnya sudah tahu harus melakukan apa tapi gak mereka lakukan juga!”

(Dimuat di harian Sindo No. 73, tanggal 14 Februari 2008)