Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 100 Prabu Destarastra turun ke Sawah

12,664 Views

Episode100Selamat dari hukum pancung dan dipulangkan ke Tanah Air, Darsi bahagia. Ia pun jadi kreatif. Orang-orangan di sawahnya ndak niru-niru umumnya orang-orangan pengusir burung. Ndak cuma rangka kayu atau bambu dibajui rumbai-rumbai plastik atawa caping. Janda satu anak lanang itu malah membuat patung Bagong utuh tuh tuh. Ho’o lho.

“Di negeri orang, sudah lama sekali saya ndak lihat Bagong. Di sana saya lihatnya cuma nafsu yang besar-besar,” alasan Darsi sembari cekikikan.

Wah, jan. Wajah, sosok dan bleger orang-orangan sawah Darsi jan mirip Bagong tenanan. Apalagi kalau sudah diombang-ambingkan mbarek angin dari gunung sebelah. Burung-burung pemakan padi pun ambyar sumilak, byaaaar kabur.

Penduduk sedesa seneng baget.  Para orangtua murid sepulang dari sekolah dimintai sumbangan ini-itu, semula sedih jadi seneng ngguya-ngguyu pas lewat pematang, nonton orang-orangan Bagong. Tak jarang bus-bus AKAP, antarkota antarprovinsi berhenti. Para penumpang ingin menyaksikan bungsu Semar itu megal-megol di tengah sawah menguning.

“Sebentar, Pak, ini itung-itung melupakan harga-harga dapur yang sudah bernaikan,” kata ibu-ibu kepada sopir bus yang mulai muring-muring.

Warga-warga lain di desa Darsi bahkan sudah ada yang menjiplak. Mereka membikin orang-orangan Gareng dan Petruk di sawahnya masing-masing. Saking asyiknya sampai mereka lupa pada angan-angan menjadi TKI di negeri orang.

***

“Burung-burung itu berhamburan bukan karena takut.”

“Kok tahu?” tanya Darsi kepada wartawan yang semula akan mewawancarainya soal pengalaman bebas pancung.

“Karena menurut saya burung-burung itu sudah tidak takut kepada siapapun. Lihat sawah itu, itu lho sawah yang padinya campur sari dengan kacang panjang, ada orang-orangan algojo pancung, ada orang-orangan Densus dan orang-orangan KPK…burung-burung tidak takut kan?”

Kesimpulannya, unggas pemakan padi itu sungkan kepada orang-orangan ponokawan karena …ehmmm…masa’ sama ponokawan kok takut. Sawah yang dijaga orang-orangan ponokawan sepi burung. Sawah yang dijaga orang-orangan Densus dan KPK ramai dirubung burung seperti manusia menjubeli Pekan Raya Jakarta.

Darsi mantuk-mantuk, matanya menerawang…

Tapi, di suatu malam Kamis Pon, tatkala komet melintas di langit Jakarta, nun di tempat lain ada peristiwa aneh. Yaitu di desa Darsi. Seluruh warga desa sudah terlelap. Sesekali terdengar burung hantu dari balik gunung. Orang-orangan Bagong berubah perlahan-lahan hidup menjadi Bagong sungguhan. Begitu juga dengan orang-orangan Gareng dan Petruk di kegelapan sawah yang tak jauh.

Ketiga sosok pengusir burung itu berubah menjadi manusia sungguhan. Bisa mesem, bisa ketawa, bisa cekikikan. Mereka bertemu di gardu ronda kosong di dekat ujung pematang. Sejenak mereka baca pengumuman sayembara yang tertempel di pohon akasia dekat gardu: Rp 100 juta bagi siapapun yang bisa membuat orang-orangan sawah yang sosoknya mirip para sahabat Nazaruddin.

Raut wajah ketiga ponokawan itu tertegun, lalu semuanya kompak pergi entah kemana. Esoknya desa Darsi geger. Mereka celingukan. Ada yang menghubung-hubungkan kepergian ponokawan orang-orangan sawah dengan meteor berapi yang melintas Jakarta.

“Jangan-jangan tadi malam para ponokawan itu diambil orang-orang dari Bank Dunia terus di bawa ke ibukota?” bisik tetangga Darsi.

“Buat apa?”

“Ya ndak tahu. Mungkin buat hiasan demo…”

Seseorang bersarung nyeletuk, “Katanya dulu juga ada meteor berekor api sebelum Ken Arok menggulingkan Tunggul Ametung…”

Para penduduk tak tertarik perbincangan politik. Mereka sedianya sudah akan membuat orang-orangan ponokawan makin banyak, tapi takut malamnya diambil para tengkulak atau oknum siapapun. Buah simalakamanya, jika tak membuat orang-orangan ponokawan, burung-burung mengancam gagal panen. Waduh yok opo iki…

***

Para ponokawan tidak pergi ke Jakarta. Ketiganya berangkat ke kotaraja Astina. Tampak mereka ingin tahu benar apa yang sedang terjadi di dalam kraton. Kalau ndak gitu, masa’ sih mereka tega-teganya meninggalkan penduduk desa terancam gagal panen.

Saat itu 15 tahun seusai perang Baratayuda. Penguasa Astina kini Prabu Puntadewa alias Yudistira, sudah bukan lagi Prabu Duryudana. Perang Baratayuda Jayabinangun yang dimenangi Pandawa membuat Astina sekarang tak lagi dikuasai oleh kaum Kurawa. Ayah Duryudana, Prabu Destarastra, masih hidup bahkan dijunjung tinggi oleh Puntadewa. Kerap sekali Puntadewa mempersilakan Pakde-nya itu duduk di tahta.

Masyarakat usil suka menyindir begini: Astina memang diketuai Puntadewa, tapi yang lebih berkuasa sejatinya Prabu Destarastra sebagai Ketua Dewan Pembina.

Puntadewa tak menggubris suara-suara sumbang itu. Sebagai tokoh berhati mulia, suara-suara miring itu masih kalah pamor dengan hasratnya untuk menghormati Destarastra. Ingat, Destarastra adalah kakak Pandu Dewanata, ayah Pandawa.

“Jangan mengungkit-ungkit Perang Baratayuda di Tegal Kuru!”     Itulah wanti-wanti setengah ancaman Puntadewa kepada segenap adik-adiknya. “Wo Prabu (Pakde) Destarastra sudah menyandang sungkawa kalau mengenang putra-putranya para Kurawa. Jika kalian mengungkit-ungkit kekalahan Kurawa, itu akan menambah duka cita Wo Prabu. Maka, siapapun di antara kalian yang melanggar sabdaku ini aku nyatakan bukan saudaraku lagi …”

Di dalam pakem pedalangan, biasanya yang iseng melanggarnya adalah Bima. Bima terutama sesak dadanya mengenang bagaimana istri Pandawa, Drupadi, ditelanjangi di depan umum oleh Kurawa setelah permainan dadu Pandawa-Kurawa. Apalagi jika Bima mengingat betapa Kunti, ibunya, dijambaki oleh Kurawa dalam lakon Pandawa Dadu itu. Mereka tak ubahnya awak kapal Indonesia yang dijadikan budak oleh orang-orang Selandia Baru.

Ketika itu, ketika Destarastra menikmati kursi tahta sendirian, ketika ia duduk di atas kemewahan dampar kencana pinatik nawa retna, tak ada Puntadewa dan saudara-saudaranya yang lain, Bima berbisik ke Destarastra mengundat-undat tragedi masa lalu itu.

Bertanya-tanyalah ponokawan jadi-jadian yang berhasil menyusup ke dalam kraton itu, “Kok Bima gak seperti di pakem pedalangan manas-manasi Destarastra ya?”

Atas perintah Gareng, Bagong mengambil inisiatif. Ia bisikkan ke kuping Destarastra warna-warni luka lama yang mestinya ditiup-tiupkan Bima dalam pakem pedalangan.

***

“Dasar orangtua ndak idep isin (ndak tahu malu),” sinis Bagong ke Destarastra yang merem-melek menikmati kursi singgasana. “Wong cilik seperti aku saja mudeng, sorga dan neraka sesungguhnya ndak usah ditunggu nanti-nanti. Sorga dan neraka itu sudah makjlek ada di mayapada saat ini juga. Pada saat kamu berbuat kebaikan, pada saat itu juga kamu bahagia. Itulah sorga.”

Petruk dan Gareng menepuk-nepuk Destarastra seolah-olah sang Prabu bocah kemarin sore yang perlu dinasihati.

Bagong meneruskan celemongannya bagai silet ke ke ulu hati Destarastra, “Sebaliknya pada saat kamu berbuat jahat, hatimu akan kacau-balau. Berkecamuk. Panas. Kamu tersiksa. Nah itulah neraka. Aku heran. Heran Aku. Kamu sudah membiarkan Duryudana dan 99 anak-anakmu lainnya menelanjangi Dewi Drupadi, nguyo-nguyo menjambaki Dewi Kunti …kok kamu nggak merasa bersalah…kok kamu malah enak-enakan ongkang-ongkang selama 15 tahun dimuliakan oleh Puntadewa …Kamu itu manusia atau bukan heh, Destarastra…”

Esoknya Pandawa kalang kabut. Prabu Destarastra jatuh sakit. Meredup. Nglentruk. Ia tak mau makan tak mau minum. Bicara pun cuma sepotong-sepotong. Itu pun cuma melulu tentang keinginannya untuk mati.

Prabu Puntadewa panik. Ia bertanya ke diri sendiri adakah pelayanan yang kurang selama 15 tahun ia mengurus dan memuliakan Pakdenya. Ia pandang adik-adiknya dengan mata curiga. O, jangan-jangan ada di antara lidah Bima, Arjuna dan Nakula-Sadewa yang tak bertulang sehingga membuat Pakdenya…ehmmm…membuat Pakdenya prihatin.

Terdengar kumandang dari langit. Suara kakek Pandawa-Kurawa, Resi Abiyasa: Wahai Puntadewa dan seluruh cucu-cucuku Pandawa. Ini memang sudah tiba saatnya Pakdemu harus meninggalkan dunia fana. Laksanakan saja seluruh permintaan Pakdemu, mati moksa di padepokanku Satasrengga.

Sebelum fajar esok hari, Destarastra meminta pergi ke  Satasrengga. Ia minta dibawai mas-masan, sapi dan kuda untuk dibagi-bagikan ke fakir miskin di sepanjang perjalanan sebagai sesaji Pitretarpana. Prabu Puntadewa dan adik-adiknya mengiringi arak-arakan Pakdenya dari gerbang kotaraja ke tepi rimba.

***

Di balik hutan sudah menunggu ketiga ponokawan. Mereka menawarkan diri jadi penunjuk jalan setapak ke Satasrengga. Tiba di tujuan, Destarastra yang tuna netra itu merasa “wah ini kayaknya bukan Satasrengga”.

Ancene. Lalu dari ajian Diwyacaksuh yang baru saja dianugerahkan oleh Batara Narada, Prabu Destarastra melihat dirinya sendiri sedang berada di tengah sawah, berayun-ayun dijadikan orang-orangan pengusir burung.

“Kalau panen gagal, saya akan pergi ke Arab Saudi,” lirih kata Darsi kepada wartawan.

“Jadi orang-orangan di sana, ya Mbak?”

“Nggak tahu ya, Mas. Apa di sana sekarang sudah ada sawah…?”