AREA 2011 - 2012

AREA 105 Ge-Er Jadi Sokrates di Tengah Pasar

4,620 Views

TejomusikSetiap dengar kata “pasar”, nama Sokrates selalu muncul di benak saya. Kabarnya filsuf besar Yunani itu kerjaannya cuma nongkrong di pasar. Di situ ia tidak menjajakan pendapat kepada kerumunan. Kerjanya justru cuma bertanya. Dan pertanyaannya tentang apa pun di dalam hidup.

Dari tanya sana-sini di pasar itulah lahir gagasan-gagasan baru suatu kaum dan zaman.

Barangkali karena pertanyaan Sokrates beda kelas dibanding pertanyaan-pertanyaan saya yang asal njeplak. Guru kita dahulu sering berujar, di dalam pertanyaan yang benar akan sudah terkandung 90 persen jawaban. Jawaban inilah yang membentuk gagasan suatu masa.

Belakangan  saya pikir-pikir emang bener sih. Cobalah begitu duduk di ruang praktek dokter langsung tanya, “Dok, saya sakit apa?” Pasti dokter itu bingung. Tapi coba pertanyaan itu diperjelas, “Dok, kepala saya pening-pening. Pinggang terasa tertekan. Saya sering kesemutan…O ya, pundak ini rasanya menyangga beban. Saya sakit apa ya Dok?”

Saat itu dokter akan sudah meyimpan sebagian besar jawabannya. Pengalaman dan ilmu kedokteran yang telah bertahun-tahun dipelajari membuatnya mampu menghubung-hubungkan keluhan tadi menjadi jawaban atau kesimpulan sementara. Selebihnya dia tinggal memastikan jawaban tersebut dengan memeriksa entah tekanan darah, warna lidah, warna mata dan lain-lain.

Bagi saya, seluruh pedagang di pasar-pasar hingga kini tak lain adalah Sokrates-Sokrates dalam wujud lain. Mereka bertanya, walau mungkin cuma dalam batin, “Barang atau jasa kami inikah yang kalian butuhkan?”. Para pengunjung pasar menjawabnya dengan banyak cara. Melihat-lihat. Membeli. Menawar. Ada yang cemberut lantas tak membeli apa-apa.

Itulah yang saya saksikan pada kesibukan manusia di pasar-pasar tradisional yang masih menyelenggarakan tawar-menawar. Sebut misalnya Pasar Klewer Solo, Pasar Beringharjo Jogja, Pasar Bunga Rawa Belong di Jakarta, Pasar Senen Raya, Pasar Tanah Abang alias Pasar Sabtu dan lain-lain. Semua yang tersebut belakangan terletak di Jakarta.

Mereka yang berprinsip bahwa hidup adalah perayaan tawar-menawar pasti kenal juga pasar-pasar tradisional seperti Spider Market di Kamboja, Damnoen Saduak Floating Market dan Maeklong Market di Thailand, The Grand Bazaar di Turki dan lain-lain.

Dan sama dengan masa Sokrates, pertanyaan memancing jawaban dan  sebaliknya. Keduanya terus berlangsung dalam siklus. Apa yang paling kerap ditanyakan dan paling kerap pula dijawab, itulah gagasan suatu kaum dan zaman. Akan halnya pasar, apa yang paling kerap ditawarkan dan dibeli, itulah yang mewarnai kebudayan suatu masa. Dari yang tampak “remeh-temeh” seperti warna sepatu, kaus, kacamata dan sebagainya.

Di pasar non-tradisional bukannya tawar-menawar itu tak ada. Dengan harga pas, tawaran dari pedagang direspon oleh calon pembeli dengan cara iya atau tidak.

Bagi saya, pasar tradisional ibarat pertemuan antara Samsul Bahri dan Siti Noerbaja dalam novel karya Marah Roesli. Pasar non-tradisional ibarat pertemuan antara Siti Noerbaja dan Datuk Maringgih. Dalam novel karya kakek pemusik Harry Roesli itu, Siti Noerbaja yang dalam sinetron televisi pernah dimainkan oleh Novia Kolopaking hanya bisa mengangguk apa menggeleng.

Menolak boleh-boleh saja. Tapi, Siti Noerbaja akan dikucilkan dari keluarga. Dan Sokrates dalam hati kecil saya lantas bertanya, “Apakah kalau bilang tidak pada dagangan pasar non-tradisional maka kalian akan dikucilkan dari pergaulan masyarakat bermerk?”