Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 107 Bukan Bang Thoyib Bukan Sinta

5,378 Views

Episode107Embuh sudah berapa abad si Cepot ndak saling nelepon dengan si Cangik, kekasih gelapnya di Jakarta. Menurut si Dawala kurang lebih baru satu Lebaran. “Tapi ditambah sepuluh hari lagi kalau wong hamil sudah mbrojol,” katanya ke sang sohib, Cepot. Kedua supporter Maung Bandung itu kini mengadu nasib di Pulau Dewata. Sudah lama mereka tinggalkan Kota Konferensi Asia-Afrika.

Menurut Dawala alias Petruk bagi orang Jawa, telepon terakhir Cepot ke Cangik soal babak-babak terakhir Ramayana. Ketika itu Indrajit, anak Rahwana, sudah berada di puncak amarah. Apalagi kereta perangnya yang ditarik oleh keempat ekor singa sudah remuk oleh bala tentara musuh, pasukan kera Ramawijaya. Singa-singa penarik keretanya pun bermatian.

“Wuiiiih… Apa Raden Indrajit akhirnya menang, Kang Cepot?” Cangik bertanya meluap-luap di ujung telepon.

Pagi itu Cepot alias Bagong bagi orang Jawa sedang leyeh-leyeh di pelabuhan Padangbai. Buih ombak dan angin pantai tepi timur Bali itu makin meluap-luapkan gelegak kekasih gelapnya di Ibukota.

“Kekasihku, Cangik, adakah hal mustahil bagi anak lelaki yang begitu besar darma baktinya kepada sang ayah? Indrajit itu anak kesayangan Rahwana. Sebutannnya Prawiralatita, ksatria kesayangan. Kenapa dijuluki begitu? Lantaran memang begitu total pengabdian Indrajit ke Rahwana…Aku ingin anak kita kelak seperti Indrajit alias Megananda. Oooh, Cangik, Cangik..My Kabogoh…”

Hmmm. Kabogoh dalam bahasa Sunda artinya kekasih. Cangik tersanjung. Semakin besarlah rasa penasarannya terhadap kelanjutan cerita Cepot. Cepotpun meneruskan lakonnya tentang Indrajit yang tengah malam itu pergi ke Padewaharan, tempatnya bersamadi. Ksatria Alengka itu membacakan seluruh mantera untuk panahnya Nagapasa. Doanya, esok pusaka pamungkasnya bakal sanggup memporakporandakan Ramawijaya sebalatentaranya di pesanggrahan mereka, Gunung Suwela.

***

Di Padangbai, Dawala yang termenung di samping Cepot tak habis pikir. Kenapa kok Cepot bersemangat sekali ketika menelepon atau ditelepon Cangik. Telepon dari gubernur bahkan sampai menteri sekalipun tak ditanggapinya dengan serius. Tak jarang malah telepon itu ia serahkan ke Dawala. Akhirnya Dawalalah yang harus berbusa-busa ngasih nasihat kepada orang-orang KPK, kepolisian, kejaksaan dan lain-lain.

“Masyarakat bingung lho, Om, kenapa kok dalam kasus Narkoba cicit Pak Harto bebas, tapi Iyut Bing Slamet ndak bebas?” Cepot mendengar Dawala ngasih advis entah ke pejabat mana.

Beda kalau telepon itu datang dari Cangik. Wah, semangat sekali Cepot. Sampai seharian. Bahkan ia sampai tidak tahu apakah hari itu harga cabe dan telur sudah bernaikan lagi, apakah lubang-lubang dan kubangan jalan raya bertambah lagi, apakah Papua sudah lepas …

Padahal, kalau dipikir-pikir, Cangik itu blas ndak cantik. Ndak usah dibandingkan jauh-jauh dengan Dea Tunggaesti, wong Mangkuyudan Solo pengacara cantik Nazaruddin. Disandingkan jejer dengan orang terjelek sekalipun, Cangik masih menang buruk. Rupanya jan plek-plek persis ponokawan Cangik dalam pewayangan. Itu lho abdi dalem kerajaan Astina, emaknya Limbuk.

Apakah ini yang disebut cinta?

Dawala sudah sering pesen-pesen ke Cepot, orang yang lahirnya di pasaran Wage seperti Cangik itu punya sifat angin. Angin selalu membawa pesan-pesan gaib dengan keluguannya. Itu baiknya. Jeleknya, angin tak bisa dipegang. Tapi Cepot tetap merasa akan sanggup menggenggam angin.

Inikah yang bernama cinta?

***

Sarpa itu ular. Astra panah. Pasa jeratan. Nagapasa pusaka pamungkas Indrajit sering disebut Sarpastrapasa. Begitu anak panah lepas dari busur, anak panah itu menjelma buaaanyak anak-anak panah. Cacahnya lebih banyak ketimbang jumlah mobil kalau lagi macet dari Tandes ke Demak, maupun dari Diponegoro ke Joyoboyo, Surabaya. Semuanya lantas menjadi Bujanggaprayata, yaitu ular-ular yang melata. Lalu seluruhnya uget-uget menjerat pasukan kera di pesanggrahan Suwela, termasuk bos mereka Prabu Ramawijaya dan Raden Lesmana.

“Horeee…Jadi bener kan sangkaku, Indrajit kuat kan, Kang Cepot, sama kuatnya dengan Asia-Afrika Tempoe Doeloe?”

Pantai Padangbai sudah tak pagi lagi. Burung-burung camar mulai beterbangan di langit senja di atas ombak. Lampu-lampu pelabuhan mulai menyala. Cepot melanjutkan ceritanya setelah Prabu Rama dan Raden Lesmana pingsan oleh jeratan para taksaka.

Rahwana, ya Dasamuka, ya Dasawaktra, usai senja itu memerintahkan hulu balang Alengka mengeluarkan Dewi Sinta. Putri tawanan ini diarak di atas kereta kencana melintasi pesanggrahan Suwela. Mendadak pingsanlah sang putri Mantili itu begitu melihat suaminya semaput dalam jeratan ular-ular.

Dari ujung telepon Cepot mendengar Cangik mulai terisak-isak. Semula perempuan itu girang bukan kepalang atas kemenangan Indrajit. Rupanya luluh juga ia oleh penderitaan Sinta.

Cangik terus sesenggukan. Tak ada kata-kata lagi yang mampu diucapkannya. Telepon berakhir dengan ucapan Cepot yang akan bergegas ke Jakarta. Ia janjian ketemu Cangik di Taman Mini. Tak ada jawaban “ya” atau “tidak” dari Cangik.

Klik!

***

Tiga hari kemudian Cepot berpakaian rapi. Rambutnya pun disisir rapi. Belum genap satu jam si rapi jali ini menunggu di Anjungan Yogyakarta Taman Mini, masuk telepon dari Cangkik.

“Hai, Cangik, hai My Kabogoh, kamu sudah dekat?”

O, kagetlah Cepot. Ternyata Cangik malah pergi ke Purwokerto bersama suami. “Maafkan aku, Kang Cepot. Tapi lebih baik hubungan ini kita akhiri saja. Aku pikir-pikir, Dewi Sinta menderita. Dia tak bisa menyatu dengan Prabu Rama yang dicintainya. Tapi dia masih mending. Aku? Sudah tidak bisa kumpul kamu, juga tidak bisa menyaksikan kamu di Bali sebenarnya kayak apa? ”

Hening. Alunan gamelan di Anjungan Yogya kebetulan turut mandek. Cangik melanjutkan dengan kata-kata yang terdengar gaib.

“Masih mending Dewi Sinta sempat nyaksikan Prabu Rama dijerat oleh siapa. Oleh ular-ular. Lha Aku? Aku tidak bisa nglihat di Bali siapa saja yang menjerat Kang Cepot. Segitu banyaknya perempuan cantik berdatangan ke pulau Bali…Oh, Kang Cepot. Hatiku hancur dengan keputusanku sendiri ini. Tapi lebih hancur lagi kalau aku lanjutkan hubungan ini, Kang Cepot. Maafkan aku lahir dan batin.”

Telepon ujug-ujug tutup. Usaha Cepot untuk menelepon balik “Bang Thoyib Perempuan” itu sia-sia selama hampir satu Lebaran.

Cepot tak sempat lagi mengisahkan bahwa sejatinya dan akhirnya Rama-Sinta bertemu kembali. Cangik tak pernah tahu bahwa seekor burung garuda yang bernama Wainateya akhirnya membebaskan Rama dan seluruh bala tentara kera dari jeratan ular-ular yang menjelma dari kesaktian Sang Megananda.

***

Disadur selengkapnya dari Kolom Mingguan, Wayang Durangpo, digital.jawapos.co.id