Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 108 Sandyakalaning Senyum….

5,008 Views

Episode108Dua anak cukup. Dua perbedaan hari Lebaran bagi Bagong juga sudah cukup. Jangan ada Lebaran lain lagi. Maka ia kaget. Kok dalam tanding Tim Garuda melawan Bahrain di Gelora Bung Karno ada mercon? Aliran agama mana lagi yang lebarannya baru 5 September 2001? 

Ternyata, selidik punya selidik, Mbilung yang masih menggeh-menggeh dari kemacetan di jalan layang Trosobo Surabaya punya info. Katanya, petasan itu justru bentuk dukungan dari orang-orang yang di dadanya ada garuda.

“Coba kalau tidak distop 15 menit, kita akan lebih banyak lagi kebobolan gol,” ujar Mbilung berapi-api. Tentu saja kata-katanya terdengar ngawur bin mbelgedes. Anehnya, Bagong tampak ndak peduli. Mungkin karena pikirannya lagi ke Jakarta. Ia bingung mau ngado apa buat ultah Pak SBY 9 September.

Para aktivis demokrasi seperti Fadjroel Rahman dan konco-konconya ngasih hadiah ambal warsa Pak Virgo itu dengan menggunduli kepala di kantor KPK. “Lha aku mau menggunduli apa? Wong endasku sendiri sudah plontos?” bungsu Semar itu bertanya-tanya sepanjang hari sejak bang-bang wetan sampai jelang Maghrib.

Pak Tego Larane Gak Tego Patine bukan pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. DuKok ndilalah Dewi Bagnawati, istrinya, ngasih tahu Bagong ada surat dari Pak Tego Larane Gak Tego Patine. Pak Tego ngundang Bagong ke rumahnya sesuai janjinya tempo dulu.

“Pak Bagong,” tulis Pak Tego. “Janji saya dulu ke Pak Bagong bukanlah janji Belanda bukan pula janji kampanye yang pasti tidak ditepati. Janji itu adalah janji yang tulus. Kalau saya sudah sukses, saya akan undang Pak Bagong. Sekarang saya baru saja lumayan. Maka sudilah Pak Bagong datang ke rumah saya…”

 

***

 

da satu anak itu juga tidak pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dia juga bukan orang dari partai yang sedang kuasa-kuasanya. Anehnya, duit Pak Tego ndak ada habisnya. Fulus-fulus itu sudah dimasukkan ke berbagai kardus durian dan mobil box, masih juga pating telecek ndak tertampung di tempat-tempat lain.

Di luas tanah rumahnya yang entah berapa hektar itu, tepatnya dekat pandan laut dan rimbunan nusa indah, Pak Tego membangun pendopo yang mirip Panggung Luhur Sangga Buwana. Itu semacam bangunan segi delapan kraton Kasunanan Surakarta yang dibangun abad ke-18.

“Karena mirip Panggung Luhur Sangga Buwono, banyak yang menduga di pendopo itu agar saya tetap berkuasa maka saya juga selalu berhubungan dengan Kanjeng Ratu Kidul, Pak Bagong,” lanjut Pak Tego dalam suratnya kepada Bagong di dusun Pucang Sewu.

“Nanti juga akan kami perlihatkan ke Pak Bagong koleksi-koleksi keris kami. Saya memang bukan sekelas kolektor keris Pak KPA Wiwoho basuki Tjokrohadiningrat. Saya memang tidak datang di pameran keris Jember dan balai Srimanganti Kraton Kasepuhan Cirebon. Tapi jelek-jelek begini, sekarang saya sudah punya keris-keris dengan deder (pangkal pegangan) ukiran wajah Rajamala dari gading gajah.”

 

***

 

Membaca nama Rajamala disebut, mata Bagong berapi-api. Pemilik nama alias Bawor itu ndak srantan pengin cepat-cepat pergi ke rumah Pak Tego.

Rajamala adalah ksatria berwajah raksasa yang sakti mandraguna. Ia berasal dari penyakit kulit Dewi Durgandini. Penyakit itu membuat sang dewi berbau amis, sampai-sampai ia dijuluki Dewi Lara Amis. Begawan Palasara, empu yang sangat mumpuni berbagai hal termasuk pengobatan, mengobati sang putri kerajaan Wirata itu.

Ternyata Resi Palarasa masih kalah sakti dibanding pegadaian. Pengadaian konon mengatasi masalah tanpa masalah. Palasara mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru. Sisik-sisik penyakit kulit Dewi Durgandini alias Setyawati menyatu menjelma ksatria separo raksasa: Rajamala!

Entah karena apa, bisa jadi karena salah tafsir atau salah dengar ajaran leluhur, Bagong merasa yakin bahwa siapapun yang berkesempatan menatap keris ber-deder/garan Rajamala akan bisa mengetahui berbagai peristiwa di balik peristiwa.

Bagong yakin, orang seperti itu tidak saja akan sanggup menerawang siapa sebenarnya selingkuhan istri. Orang yang sempat melihat keris ber-garan Rajamala bahkan Bagong yakini bisa melihat siapa dalang dibalik pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang konon melibatkan Andi Nurpati.

 

***

 

Bagong yang ditunggu-tunggu Pak Tego tak kunjung muncul. Dalam surat balasannya, Bagong bilang ia tidak bisa begitu saja meninggalkan dusun Pucang Sewu. Ia harus ikut kerja bakti membetulkan jalan-jalan yang semakin rusak penuh lubang di seantero negeri termasuk di kampungnya.  “Kalau saya meninggalkan gotong royong, saya harus membayar mereka biaya kompensasi…Ehmmm..kalau bisa transpor saya juga mbok ditanggung…” kata Bagong.

Akhirnya Pak Tego mengirim uangnya yang berada di luar kardus durian dan mobil box. Kemudian datanglah Bagong di gerbang pagar rumah Tak Tego. Yang mbikin Pak Tego kaget, ternyata Bagong tidak datang sendirian. Ia mengajak hampir orang sekampung.

“Maaf, saya lupa, Pak Tego. Ternyata saya masih punya harta karun. Baru ketemu di galian tanah. Dari situlah mereka semua saya ongkosi busnya ke sini,” kata Bagong sambil kasih bahasa isyarat. Pak Tego tanggap. Itu berarti ia yang sudah sukses juga harus mengganti biaya transpor bala kampung Bagong.

***

Ternyata rombongan Pucang Sewu yang jumlahnya sak bregodo itu tidak cuma sehari dua hari tinggal di rumah Pak Tego. Sudah berminggu-minggu bahkan kini sudah mencapai sembilan bulan sepuluh hari mereka tenguk-tenguk di situ. Macam-macam alasan mereka. Ada yang masih penasaran menunggu keris koleksi baru Pak Tego versi Tegal yang ber-garan ukiran rupa Dursasana.

Ksatria bala Kurawa dari Banjarjunut itu dikenal selalu tertawa sepanjang hidup. “Kami yakin setelah melihat garan itu, ya kalaupun kami tidak bisa tertawa minimal bisa selalu tersenyum, Pak Tego. Sekarang kami itu senyum saja susah,” kata si baju tak biru.

Sejak itu Pak Tego pergi dari rumahnya entah ke mana. Pergi seduit-duitnya. Warga dusun Pucang Sewu deg-degan tak bisa makan tidur gratis lagi di suatu rumah di Nusantara. Mereka harus siap-siap jadi TKI.

Disadur selengkapnya dari Kolom Mingguan, Jawa Pos, Wayang Durangpo