Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 127 Batari Sri Turun Banyumas

6,088 Views

Episode127Hidup kalau nggak sekali-sekali ada kejutan ya mboseni. Contohnya sirene mobil pejabat. Dengar saja, dari dulu bunyinya gitu-gitu saja. Nguing…nguing…nguing …nguing. Mbok kadang-kadang suara sirenenya itu kaing.. kaing…kaing…kaiiiing

Maka pada ultah suaminya yang ke-60, ponokawan Cangik tak mau lagi  bikin acara yang itu-itu melulu. Tumpeng dan urapan. Perempuan kurus  kerontang berleher cangik alias jenjang itu ingin merayakannya secara  mengagetkan.

“Tapi kejutannya seperti apa ya, Mbuk,” tanya Cangik ke Limbuk, putrinya semata wayang yang menjelang perawan tua.

Si gembrot Limbuk ndak tahu harus menjawab apa. Dia sudah kapok bikin usul-usul dan berpendapat di depan emaknya. Toh ujung-ujungnya si emak ndak ngreken juga.

Kemarin abdi dalem kerajaan Astina itu bertanya, “Mbuk, kamu setuju ndak kalau subsidi BBM dihapus.” Wah, Limbuk semangat menanggapi bahwa subsidi BBM memang telah saatnya harus dicabut. Ia kemukakan alasan ini-itu dari nguping sana-sini. Toh akhirnya emaknya santai bilang, “Halah Mbuk, kamu jangan sok tahu. Subsidi BBM sebaiknya tidak dihapus. Titik ndak pakai koma.”

Maka Limbuk tak ingin punya pendapat lagi. Tapi Cangik memaksanya. Akhirnya Limbuk curcol, “Bagaimana kalau ultahnya ndak pakai tumpeng dan among-among, Mak. Kita pesan tempat saja di mal kayak anak-anak TK kalau ultah. Nyanyi Happy Birthday sambil keplok-keplok.”

“Halah Mbuuuuk…Mbuk…Sudah…Kita rayakan saja di gerbong kereta api,” tandas Cangik.

Benar kan, batin Limbuk. Tak ada faedahnya generasi muda mengajukan gagasan macam-macam kepada kaum tua. Mudah ditebak yang berlaku akhirnya tetaplah pendapat kaum tua jua.

***

Cangik tidak menyewa satu gerbong penuh. Di kereta jurusan Surabaya-Bandung itu dia hanya memesan agar ruang karaoke tidak untuk karaokean. Sebagai gantinya, ia menyewa kelompok pemusik keroncong untuk tampil live. Lewat ponokawan Gareng yang banyak puya koneksi seniman keroncong di Wonocolo, akhirnya Cangik mendapatkan grup musik khas Nusantara itu.

Beberapa saat setelah kereta berangkat dari Stasiun Gubeng, tepatnya setelah Madiun, ia mengajak suaminya dan Limbuk berpindah gerbong. Kaget dan terharulah sang suami. Begitu masuk ruang, ia disambut oleh lagu Selamat Ulang Tahun versi keroncong. Matanya berkaca-kaca. Apalagi melihat ruangan tersebut penuh hiasan dan bunga-bunga seperti umumnya kalau ada acara ambal warso.

Tak sedikit para penumpang lain yang mau ke toilet atau menuju restorasi lewat ruangan itu dan mampir. Mereka turut sumringah dan  menjabat tangan suami Cangik seraya mengucapkan selamat ulang tahun. Teknisi, pramugari dan kondektur kereta turut pula ambil bagian. Karena ramai pengunjung, maka tambah semangatlah pemain keroncong baik yang main gitar, violin, cak, cuk maupun cello.

Setelah membawakan lagu-lagu umum keroncong seperti Dewi Kahyangan, Mawar Biru, Sapu Tangan Sutra Ungu, Semalam di Cianjur, Jembatan Merah, Sepasang Mata Bola, dan lain-lain, kelompok keroncong itu beralih ke lagu ciptaan rekaan sendiri. Saat itu kereta sudah beranjak dari Stasiun Tugu, Yogyakarta.

***

Syair lagu keroncong gubahan mereka sendiri bercerita tentang turunnya Batari Sri ke mayapada. Cerita berawal dari kalutnya para dewa di kahyangan menghadapi serangan Raja Senapura, Prabu Kala Nilarudraka. “Ketua” Kahyangan, Dewa Indra, kalut menghadapi musuh sakti mandraguna karena “Ketua Besar” Kahyangan, Batara Guru sedang tak ada. Seandainya “Ketua Besar” tidak sedang bersembunyi, sudah tentu Prabu Nilarudraka berhasil ditumpas oleh kedigdayaan Batara Guru.

Ternyata “Ketua Besar” yang entah suka “Apel Malang” entah suka “Apel Washington” itu tidak sedang bersembunyi. Ia sedang bertapa di Gunung Mercu. Usaha “Ketua” Dewa Indra bersama rombongan para dewa untuk membangunkan pertapaannya malah berakibat fatal. Oleh Kala Mercu yang menjaga Batara Guru, seluruh dewa termasuk Bayu, Brahma, Sambu dan lain-lain terpental jauh.

Seluruh dewa itu terlontar dan terpelanting jauh hingga tampak gogrok berguguran dari langit di singgasana pasangan dewa-dewi asmara, Kamajaya dan Kamaratih. Dewi kesenian Saraswati dan dewi kesuburan Batari Sri yang saat itu sedang bertandang turut terperanjat.

Kamajaya disambati dan didaulat oleh para dewa untuk membangunkan Batara Guru alias Jagad Giripati. Dengan takut-takut tapi terpaksa, Kamajaya menyanggupi harapan para dewa. Panah asmaranya berhasil menghancurkan Kala Mercu sang penjaga pertapaan Jagad Giripati.

Kini giliran menggugah Jagad Giripati. Dengan panah pamungkasnya Pancawisaya, Kamajaya berhasil membangunkan Jagad Giripati. Namun Batara Guru itu marah. Mata ketiga yang ada di tengah jidatnya menyala. Kamajaya hancur menjadi debu.

***

Mendengar riwayat wayang yang dikerocongkan di atas gerbong di antara deru roda-roda kereta itu Cangik tersedu-sedu. Tangisnya seperti airmata Dewi Kamaratih, Dewi Saraswati dan Batari Sri begitu melihat api yang mengabukan Kamajaya.

Dengarlah, seketika api juga menjilat ketiga bidadari itu dan meludeskannya menjadi abu. Batara Guru menghidupkan mereka kembali dalam bentuk maya di muka bumi. Kamajaya dan Kamaratih akan menjelma menjadi tubuh lelaki dan perempuan. Saraswati tumbuh menjadi selera keindahan pada setiap insan. Batari Sri berubah wujud menjadi segala tanem tuwuh termasuk padi di Nusantara.

Pengacau kahyangan, Prabu Nilarudraka dihadapai oleh gajah Ganesa, putra Batara Guru. Ganesa mati sampyuh bareng Nilarudraka. Oleh Batara Guru, Ganesa dijelmakan menjadi nafsu manusia untuk meraih ilmu pengetahuan.

Yang menarik, ketika kelompok keroncong melantunkan Batari Sri turun ke mayapada bareng dengan Saraswati dan Ganesa, serta Kamajaya dan Kamaratih, kereta sedang melewati hamparan sawah-sawah di kawasan Purwokerto, Banyumas.

Di luar jendela kereta para petani tampak tersenyum, tak peduli dengan rombongan pejabat yang melintas dan bikin ribut di jalan aspal.