Wayang Durangpo Tahun I (2009 - 2010)

Episode 27 – Rahwana I Love U..

8,070 Views

Episode027RAHWANA mbawa Dewi Sinta ke Alengka. Istri Prabu Rama dari Kerajaan Ayodya itu digondolnya setelah Garuda Jatayu yang mencegat Rahwawa di dirgantara keok oleh si raja Alengka itu. Sekarang wis 12 tahun lebih Sinta nduk Argasoka, tempat bintang lima di Alengka. Padahal Rahwana sudah punya istri, Dewi Tari.

Konon penyebabnya sepele. Dewi Tari uring-uringan terus soalnya Rahwana sering mbanding-bandingno masakannya ambek masakan ibunya, Dewi Sukesi. Pikir Tari, ”Enakan jadi Siti Hawa ya, Adam ndak mungkin pernah nyebut-nyebut masakan ibunya.”

Waktu pergi ke tabib, Dewi Tari diberi obat penenang. Dia heran, Rahwana tidak pernah mau minum obat. ”Bukan untuk Bapak, aduh, tapi untuk Mbak Tari. Agar Mbak Tari tidur saja ndak usah ngomel-ngomel sehingga suami betah di rumah,” kata tabib.

Gareng bertanya-tanya, ternyata di Alengka tidak saja diumbar nikah siri dan poligami. Bahkan berpoligami dengan istri orang lain juga sip sip saja.Bagong selalu berbeda dibanding Gareng, kakaknya. Bungsu Semar ini selalu polos-polos saja. Tidak pernah sok kritis dan sok intelektual bagai kakak sulungnya. Bagong selalu berpegang pada prinsip sederhana bapaknya, ndak usah repot-repot mikir segala hal termasuk poligami boleh apa nggak.

”Yang penting, apa pun agamanya, umat yang terbaik adalah yang paling berguna buat sesama,” kata Bagong singkat.

Weladalah! Petruk berusaha membuat kata-kata Bagong panjang seperti hidungnya. Percuma tidak nikah siri, tidak poligami, kalau konsentrasi tiap laki-laki cuma melulu pada keluarganya sendiri. Makanya, banyak orang lain yang nganggur, kelaparan, bahkan sampai menjuali bayi-bayinya.Petruk masih ingin lebih panjang lagi. Katanya, keluarga bukanlah tiang negara. Ini salah kaprah. Bangsalah tiang keluarga. Kalau bangsa ini baik, pengangguran sedikit, karena barang-barang dari China ditunda masuknya sehingga industri dalam negeri tak banyak yang bangkrut, keluarga-keluarga akan tenang.

Di dalam pengangguran yang tidak merajalela, keluarga-keluarga akan tenang. Para orang tua lebih lega melepas anak-anaknya pergi ke sekolah. Mereka tidak was-was anaknya dicopet atau diculik maupun diiming-imingi narkoba. Lapangan kerja akan membuat kriminalitas berkurang.

”Jadi, kamu anti pada orang yang tidak mau berpoligami, orang yang cuma memikirkan keluarga dari istri pertama,” tanya Gareng.

Lho, aku tidak anti. Ingat, namaku ini Petruk alias Kantong Bolong. Aku suka mengambil jalan tengah. Sebab, ingat, yang enak-enak itu pasti yang di tengah. Aku cuma menjadi penyambung lidah dari Bagong yang tidak bisa omong bertele-tele agar tidak dikira anggota Pansus Century.”

Bagong tersentak. Sebenarnya dia bukannya tidak bisa bicara panjang lebar. Tapi dia ingin setia pada pepatah kuno agar kita tak bicara panjang lebar. Kalau terlalu panjang kasihan ibu-ibu, terlalu lebar kasihan bapak-bapak.Bisa sih, Bagong berpanjang-panjang. Misalnya, suburnya mafia-mafia di Italia dulu justru karena prinsip bahwa keluarga adalah tiang negara. Semua orang memikirkan keluarganya sendiri. Polisi bahkan tak bisa berkutik memberantas mafia karena semua orang melindungi keluarganya dari penyidikan aparat hukum.

Belum purna ponokawan itu rembukan, terdengar langkah Rahwana menuju Taman Argasoka. Ketiga abdi yang ngintil Dewi Sinta itu segera ngumpet di balik pohon yang pernah dipakai Hanuman menclok ketika dahulu menjadi duta Prabu Rama, pohon Nagasari.

***

Macan mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalan gading. Garuda Jatayu mati meninggalkan, pertama, desain Garuda yang dipakai perancang Georgio Armani. Kedua, salah satu bulu di sayap. Bulu itu tanpa disulap kontan menjadi keris. Pesan Garuda Jatayu setelah kalah dari Rahwana agar Sinta selalu menghunus keris itu. Gunakanlah untuk bunuh diri kalau Rahwana menyentuh sedikit saja kulit Sinta.

Maka, selama lebih dari 12 tahun di Taman Argasoka, Sinta selalu menghunus keris ketika Rahwana memasuki taman. Dan ini yang membuat Rahwana sangat bersedih.

Menurut Rahwana, ini akibat peraturan tentang konten jejaring sosial internet belum diterapkan di Alengka Diraja. Mungkin karena itu maka banyak sekali isi facebook, twitter, blog, dan lain-lain yang mengandung fitnah bahwa dirinya berbahaya bagi perempuan.

Di Taman Argasoka itu, di depan Sinta yang memegang keris dan mengarahkan ke ulu hatinya sendiri, Rahwana menangis. Padahal selama 12 tahun keluar masuk Taman Argasoka, tepatnya ruang Gran Mahakam kamar 803, tak sebersit pun ia akan menyentuh Sinta sebelum Sinta jatuh hati kepadanya. Kelak Ponokawan akan menjadi saksi yang meringankan Rahwana, bagai Susno Duadji yang meringankan Antasari.

Lho, kamar 803 ta? Gak kamar 308?” Bagong nyeletuk.

”Goblok kamu Gong,” bentak Gareng. ”Nomor 308 itu kamare Nyi Roro Kidul nduk Hotel Samudera Beach, Pelabuhan Ratu, Sukabumi…”

Kembali ke Rahwana. Ia merasa difitnah. Dia merasa tidak sejelek yang dituduhkan banyak orang selama berabad-abad. Dewi Sinta menurutnya tidak diculik. Rahwana hanya menagih haknya, yaitu hak menikahi Dewi Widowati yang menitis ke Dewi Sinta.

Ingat. Ketika lahir ke dunia Rahwana cuma berupa darah (Rah) di tengah hutan (wana), lalu darah itu menggeliat-geliat menjadi manusia bermuka sepuluh (Dasamuka). Rahwana malu. Saking malunya, putra pasangan nikah siri Wisrawa dan Sukesi itu kemudian bertapa di Gunung Gohkarno 50 ribu tahun lamanya. Setiap seribu pemilukada alias 5.000 tahun ia penggal kepalanya satu.

Nah, menjelang kepalanya yang kesepuluh dia penggal sendiri, Sekjen Para Dewa, Bathara Narada datang tergopoh-gopoh. Ia larang cucu Prabu Sumali itu bunuh diri apalagi di saat Imlek.

”Hayyyya…Alam semesta ini perlu Yin dan Yang, perlu keseimbangan, perlu hitam dan putih…Perlu juga warna kelabu. Kalau semua orang putih, hayyya o blegenjong blegenjong pak pak pong, pak pak pong, maka dunia ini njomplang…,” kata Narada sambil menari-nari bagai barongsai.

Di Gunung Gohkarno itu, akhirnya Rahwana tak jadi bunuh diri. Tapi ia meminta dua hal. Dua-duanya disetujui oleh Narada. Yaitu, pertama, kesaktian yang tiada tanding. Kedua, menikahi titisan Dewi Widowati.

Kini Dewi Widawati alias Dewi Sri sudah menjelma jadi sosok perempuan di hadapannya, Dewi Sinta. Tapi mengapa Sinta akan menghunjamkan keris bunuh diri seolah-olah Rahwana akan melakukan pelecehan seksual.

”O, Sinta. O, putri Mantili juwita malamku. Jangan samakan aku dengan guru-guru spiritual yang biasanya melakukan pelecehan seksual. Inilah akibatnya kalau konten jejaring sosial internet tidak diawasi. Kamu termakan fitnah di internet selama ratusan abad bahwa Rahwana itu jelek.”

”O, Sinta, percayalah padaku seperti kelelawar percaya kepada malam, bahtera percaya kepada angin. Jangan kamu termakan oleh jutaan tukang fitnah di internet yang menyalahtafsirkan Empu Walmiki, pengarang Ramayana. Aku tidak seburuk itu, wahai putri duyung tawananku…”

”Sesungguhnya aku rela kamu dinikahi Prabu Ramawijaya meski Dewata dahulu kala telah menjanjikan kamu buat aku. Yang aku geregetan, kok kamu dapat lanangan yang tidak jantan, sing kerjone cuma tebar pesona? Ramawijaya memanah dari belakang ayah Anggodo, yaitu Resi Subali. Ndak hadap-hadapan lho.”

”Dan saking tebar pesonanya, aku sampek ngimpi di saat puspo tajem, yaitu saat menjelang fajar. Artinya ngimpi yang bakal kejadian. Selepas dari Alengka ini kamu akan dibakar Rama. Rama telinganya tipis. Ia sangat sensitif mendengar gunjingan warga bahwa kamu wis ndak suci lagi setelah 12 tahun bersamaku. Makanya ia tebar pesona dengan membakarmu. Tapi kamu suci. Makanya kamu tidak terbakar. Rama belum puas. Ia buang kamu ke hutan Dandaka sampai melahirkan anak dari Rama, yaitu Kusa dan Lawa…”

O, Rahwana menangis. Membik-membik, mbrebes mili, meninggalkan Taman Argasoka.

***

Alengka sudah hampir ludes digempur Prabu Ramawijaya beserta seluruh koalisinya termasuk Sugriwa dari Partai Kera. Ada desas-desus Sarpakenaka, perempuan, bendahara, dan menteri keuangan Alengka akan dijadikan korban. Korban selanjutnya adalah Patih Prahasto, wakil presiden Alengka.

Ternyata kabar burung itu benar. Koalisi Rama menjadikan Sarpakenaka dan Prahasto sebagai korban. Kini Alengka tinggal seorang diri, Rahwana, yang sedang bertandang ke Taman Argasoka.

Dewi Sinta membatin. Jan-jane ia ndak termakan fitnah internet soal kekejian Rahwana. Malah menurutnya konten internet tidak usah diawasi oleh negara. Jarno wae masyarakat internet sendiri yang akan mengadili para pemain culas di dalamnya. Nyatanya hukuman moral itu sekarang sudah jalan sendiri. Masyarakat akan menolak pengisi You Tube yang kurang ajar misalnya.

Dengan keris dari bulu Jatayu selama ini, Sinta jan-jane sudah tahu dari zaman Singosari bahwa Rahwana itu punya sisi positif juga. Sinta cuma ingin menguji ketulusan cinta Rahwana. Dan itu telah 12 tahun terbukti. Rahwana tidak pernah marah sedetik pun setiap Sinta menolak disentuh.

Hanya, malam ini Sinta kaget. Rahwana marah luar biasa, ketika Sinta menguji Rahwana dengan permohonan. Ia memohon agar Rahwana yang tinggal seorang diri dan dikepung, keluar saja dari kraton, menghadap minta ampun pada Ramawijaya yang memimpin pasukan pengepung dari Bukit Maliawan.

”Apa, Sintaku? Aku harus menyerah? Matamu lihat ndak seluruh rakyatku sudah binasa? Menteri keuanganku juga sudah dikuyo-kuyo lalu bongko? Wakilku juga sudah jadi korban? Sekarang kamu minta aku tetap hidup dengan meminta maaf pada belahan jiwamu? Memang kamu kira Rahwana pemimpin macam apa? Pemimpin yang tidak bertanggung-jawab ketika anak-anak buahnya matek dijadikan bal-balan munyuk-munyuk itu?”

Rahwana langsung bablas seorang diri menghadapi jutaan koalisi Ramawijaya.

O, Pak De Karwo, O, Gus Ipul, O sedulur-sedulur Lumpur Lapindo…sak kal lemes dengkul Dewi Sinta sepergi Rahwana. Ia terkulai. Gelung rambutnya pudar menyentuh tanah. Ia menangis tanpa kata-kata. Tapi pohon Nagasari di taman itu mampu menangkap isyarat. Di lubuk hati Sinta sekelebat terdengar kalimat lirih, mirip judul lakon wayang minggu ini. (*)

*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com

Disadur Sepenuhnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo