Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 54 Senyum Nyai Sagopi di Jalur Pantura

6,700 Views

Episode054KERNET truk ini marah-marah. Pemimpin partainya di Jombang ternyata menyerongi pembantu rumah tangga. Marahnya bukan oleh sebab itu. Bagi sang kernet, kabeh pemimpin mesti bermasalah dengan syahwatnya. Bedanya, ada yang nasibnya ketahuan ada yang belum

Yok opo kuping kernet truk itu nggak merah jadi kembang sepatu? Di Jombang, kota Bapak Kerakyatan Gus Dur, harkat wong cilik dilecehkan. Padahal istri kernet itu sendiri juga wong cilik, sama-sama pembantu. Masa’ ada yang bilang, ”Wah ternyata politisi kita kelasnya cuma kelas pembokat …” Ada lagi yang mbengok, ”Masa’ pemimpin partai, pemimpin komisi di DPRD juga, goyangnya sama babu. Apa nggak bau terasi tuh?”

Waduh…Waduh…Masyarakat pencemooh seperti ini harus diberi pelajaran!!! Memang, istri si kernet truk ini tidak senahas istri kernet truk di Lumajang. Itu lho ibu-ibu yang gara-gara terlilit utang nyoba bunuh diri minum racun bareng kedua anak kecilnya. Tapi dihina-dina profesinya, profesi bedinde, kan sama nyelekit-nya dengan buka usaha bunuh diri namun gagal.

Suatu malam si kernet bermimpi. Masyarakat penghujat harus diberi pelajaran. Ia demo dengan tulisan di sepanjang jalan Anyer-Panarukan. Tulisannya: JANGAN MENGHINA PEMBANTU! Berapa meter rekor Muri untuk spanduk terpanjang, nggak akan sepanjang jalan kenangan Daendles itu.

Tapi dari mana duit untuk beli kain dan cat sepanjang 1.000 kilometer itu, dari Mbahmu?

”Hmmm…Ngene wae. Protes kita tulis gede-gede di bak truk,” kata sopir truk menerima usulan kernetnya. Maklum, dia juga penggemar pembantu. ”Kebetulan muatan kita kan rutenya sering Anyer-Panarukan? Itu akan sama nilainya dengan spanduk sepanjang Jalan Daendles.”

Sekarang giliran sopir truk usul pada majikannya. Pemilik truk langsung setuju. Sang sopir seneng banget. ”Wah, cuuuocokTepak… Tapi sssttt…,” bisik juragan, ”Tapi jangan bilang-bilang sama Ibu ya. Aku dulu hehe… juga sering main sama batur, ya si Surti itu…”

***

Sekarang kita ke Lamongan, ke pengecatan gambar-gambar bak truk. Papan namanya ”Sanggar Lukis Truk Rukun Agawe Santosa”.

Sudah semingguan ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong membuka usahanya di bawah pohon mangga itu. Biasanya mereka nggambar pakai airbrush. Yang mereka gambar khusus tokoh wayang. Bukan gambar Iwan Fals dan sejenisnya. Itu beda mereka dibanding penggambar truk yang sudah banyak.

Lha ponokawan mau dapat uang dari mana lagi? Mau ikut antre pembagian zakat nanti semaput. Mau nunggu orang nebar duit, orang nebar duit macam Robin Hood dan Sunan Kalijaga semasih jadi begal juga sudah ndak ada.

Ada sih pekan lalu, di Pasar Senen Jakarta, tapi dia orang gila. Orang-orang di Stasiun dan Terminal Pasar Senen malah mengembalikan uang-uang itu. Masyarakat takut. Pernah ada yang terima duit itu lalu besoknya kualat, ketabrak sepeda motor. Di Pasuruan ada hantu gentayangan, tapi nggak menebar duit tanpa kita harus antre. Konon hantu itu kerjanya malah membacok. Sudah jatuh empat orang korban bacokannya.

Ya sudah, buka usaha pengecatan gambar truk saja. Garapan pertama Sanggar Lukis Truk Rukun Agawe Santosa adalah tulisan pesanan ”Kutunggu Jandamu”. Mereka kasih gambar Dewi Banuwati, permaisuri cantik raja diraja Astina yang suaminya ndak mati-mati.

Wah, sopir truk ”KUTUNGGU JANDAMU” itu seneng-nya ampun-ampunan.

Kalau pas lewat Gresik bisa wira-wiri dia entah berapa kali sebelum akhirnya bablas ke Surabaya. Ceritanya di kota semen itu dulu dia punya tunangan. Nah, gara-gara dia nganggur terus, cincin tunangan dikembalikan. Mantan tunangannya segera nikah dengan apa polisi apa orang pajak gitu. Setelah dapat gawean jadi sopir truk sekarang gagahlah dia. Mondar-mandirlah dia kini sambil ngudut dengan ”KUTUNGGU JANDAMU” terpampang di belakang bak.

Garapan kedua ponokawan adalah pesanan tulisan berbunyi: ”PERGI RINDU, PULANG MALU”.

Sayangnya, ponokawan kesulitan mencari tokoh wayang buat gambaran tulisan itu. Siapa ya tokoh dalam wayang yang kalau pergi selalu teringat dan kangen istri, tapi mau pulang malunya setengah mati, malu karena ndak bawa duit cukup. Istri sopir truk itu memang bukan Andi Soraya, tapi kalau pas kesel sama-sama suka melempar gelas.

Sulung ponokawan, Gareng, ambil keputusan. Sudah, gambarnya wajah Petruk saja. Petruk ndlongop, mau menolak tapi tapi ndak bisa. ”Sudahlah. Ini sudah pas, sesuai pengalaman hidupmu sendiri, Truk,” kata Gareng. Dengan senyum getir Petruk lantas menggambar dirinya sendiri di bak belakang truk. Bagong dan Gareng cekikikan membantunya.

Di dalam kesulitan, selalu ada jalan keluar bagi orang-orang yang mau berpikir dan cekikikan.

***

Kesulitan tanpa jalan keluar adalah ketika datang sopir truk dan kernetnya dari Jombang. Keduanya kompak pesan tulisan: ”JANGAN MENGHINA PEMBANTU”.

Walah…Walah…Gambar wayangnya apa ya?

Yok opo nek Inem? Inem itu babu yang bikin banyak juragan kelimpungan. Inem kondang di Nusantara tahun 70-an, lewat film Inem Pelayan Seksi. Pemerannya Doris Callebaute. Sutradaranya Nya Abbas Acup.

”Tapi Inem kan bukan wayang,” kernet truk berbisik kepada sopirnya.

Ya, sudah. Kalau begitu Centini saja? Pembantu rumah tangga ini bukan sekadar penguping wejangan-wejangan Tuan Amongraga kepada istrinya Tembangraras alias Tembanglaras. Centini bahkan menjadi saksi ulah kridaning priyo wanodya di ranjang antara pasangan suami istri itu. Saking hampir saban hari menyaksikan pergumulan majikannya di ranjang, Centini mahir dan menguasai ilmu asmara. Sampai kemudian Centini dikenang sebagai pembantu rumah tangga yang lebih hot dibanding Marilyn Monroe.

”Marilyn Monroe itu wayang…?” kernet truk itu berbisik lagi ke sopirnya.

Kayak-nya bukan wayang. Dia itu bangsanya Daendles gitu lho. Tapi Nyi Centini juga bukan wayang.”

Centini memang bukan wayang. Perempuan pembantu yang pandai berolah asmara ini cuma termaktub dalam Serat Centini. Kitab ditulis pada 1800-an Masehi di Surakarta atas perintah Susuhunan Paku Bowono V.

Pembantu lain yang juga mahir berolah asmara…hmmm…ya Pariyem. Tapi bukan wayang pula. Perempuan ini tak pernah menuntut dinikahi oleh majikan dan anak-anak majikannya, meski dia sudah berhamilan dari mereka. Ia berasal dari Gunungkidul, mengabdi pada bangsawan di Yogyakarta, ditulis oleh sastrawan almarhum Linus Suryadi dalam buku Pengakuan Pariyem…Bagaimana?

Petruk lhola-lholok. Gareng terus mengernyitkan kening, berpikir.

”Eh, ada, Reng, Nyai Sagopi!!!” Bagong mengagetkan kakaknya. Kontan Gareng tertawa. Ia lalu menepuk-nepuk pundak adik bungsunya itu. Ingatan Gareng kemudian jadi segar-bugar pada Nyai Sagopi, tokoh pembantu yang dijadikan bulan-bulanan seksual para majikan di dalam wayang.

***

Masuk akal Gareng hampir lupa lelakon Nyai Sagopi. Masyarakat juga banyak yang tidak tahu Nyai Sagopi. Dalang-dalang hampir tidak ada yang mementaskannya, mungkin karena takut membuka wadi kelakuan seksual para pemimpin di Nusantara terhadap abdi-abdinya.

Alkisah, di kerajaan besar Mandura hidup seorang abdi bernama Ken Sayuda. Perempuan ini tugasnya hanya bersimpuh di luar pintu kamar raja dan permaisuri. Jika permaisuri sedang kewalahan atau tidak in the mood melayani sang raja, tak jarang Ken Sayuda dipanggil masuk. Ia dijadikan sasaran syahwat raja. Sampailah Ken Sayuda hamil beberapa kali, beranak perempuan bernama Larasati dan laki-laki bernama Prabowo, Pragota, dan Udawa.

Untuk menjaga kehormatan keraton, Ken Sayuda diungsikan di Widarakandang setiap bunting dan melahirkan. Seorang gembala istana, Antagopa, disuruh pura-pura menjadi suaminya. Pangkatnya ditingkatkan menjadi demang di Kademangan Widarakandang. Di kademangan itu pula Ken Sayuda KTP-nya berganti nama: Nyai Sagopi.

Sopir truk bertanya, ”Keistimewaan Nyai Sagopi apa, Pak Gareng? Kan protes kami ”JANGAN MENGHINA PEMBANTU”? Harus ada istimewanya, supaya kita memang ya itu… Memang jangan menghina pembantu?”

”Ketahuilah, Dik Sopir, selain pandai main cinta, artinya kalau begituan itu dengan sepenuh jiwa…jiwanya nyooooh total dipasrahkan bongkokan…Hmmm, yah, selain itu Nyai Sagopi juga pandai membesarkan anak. Mendidik. Anggulawentah. Sampek-sampek putra-putri resmi Kerajaan Mandura waktu masih masa kanak-kanak juga dititipkan di Widarakandang. Mereka, Kakrasana, Narayana, dan Dewi Bratajaya. Dewasanya nanti Kakrasana menjadi Baladewa, raja Mandura. Patihnya Pragoto dan Prabowo. Narayana menjadi Kresna, raja Dwarawati. Patihnya Udawa. Bratajaya menjadi Subadra, istri kesayangan Arjuna. Lihat…Larasati menjadi perempuan yang kemahiran panahnya mengungguli Srikandi…”

Ck..ck..ck…ck…Sopir dan kernet truk ”JANGAN MENGHINA PEMBANTU” saling berdecak kagum.

Sejak itu Nyai Sagopi berseliweran di Jalur Pantura, memberi pelajaran kepada Indonesia. (*)

Disadur selengkapnya dari Jawa Pos, Kolom Mingguan, Wayang Durangpo