Wayang Durangpo Tahun II (2010 - 2011)

Episode 98 Senyum Tak Bersubsidi…

13,149 Views

Episode098”APAKAH hari ini kamu sudah tersenyum?” anak Bagong nanya pakdenya, Petruk. Petruk
sendiri sudah lupa kapan ya terakhir dirinya mesem. Dia hanya bisa dengan datar mantengi keponakannya itu lama-lama sampai akhirnya hilang dari matanya. Si anak kabur entah ke mana.

Kini ponokawan itu jadi kepikiran. Kapan ya dia mengembuskan senyum terakhirnya. Janjan-nya dia bakal nanya Prabu Kresna. Inilah raja yang tahu banyak tentang hal-hal yang masih akan terjadi, weruh sakdurunge winarah, apalagi ”hil-hil” yang sudah terjadi.

”Petruk, kok malam-malam begini kamu mau menghadap junjunganku. Ada apa?” tanya Se tyaki, tangan kanan Kresna. Ia mencegat Petruk di gerbang keraton.

Wajah Setyaki serius. Yang artinya: Setelah Petruk dengan wajah sama seriusnya mengutarakan maksudnya datang tengah malam, Setyaki pun tetap tidak tersenyum.

Jelas-jelas bahwa maksud kedatangan Petruk gak masuk nalar. Cuma mau tanya kapan terakhir
dirinya cengar-cengir. Mengapa dengar pertanyaan yang sama ndak pentingnya dengan
satgas itu Setyaki tidak tersenyum?

***

Untung, Petruk tak jadi menghadap Prabu Sri Kresna. Misal jadi pun, Kantong Bolong itu
pasti kecewa. Mungkin titisan Wisnu ini akan memberi tahu kapan senyum terakhir Kantong
Bolong. Tetapi, apalah enaknya diberi tahu tentang apa pun kalau disampaikan dengan
wajah yang merengut?

Sudah cukup lama Kresna tidak tersenyum. Mungkin sejak kunjungannya ke Indonesia
beberapa waktu lalu. Sejak bertemu dengan banyak orang Khatulistiwa dari dusun sampai kota, Kresna selalu bermuram durja. Biasanya, seberapa parah suatu kawasan baru dikunjunginya,
Kresna tetap sumeh.

Pernah kan dulu, habis nyambangi kelahiran Gatutkaca. Waktu itu, tak ada pusaka yang mampu
memotong tali pusat jabang bayi. Akhirnya, pamannya, Arjuna, harus tunggang-langgang ke Astina, meminjam senjata Kunto kepada Karna. Kakak kandung itu mengizinkannya.

Kresna waktu itu senang. Akhirnya, sang adik ipar bisa memotong tali pusat Gatutkaca.
Tapi, Kresna tetap sedih. ’’Mestinya senjata Kunto itu tak perlu dipinjam oleh adik iparku dari Karna,’’ pikir Kresna. ’’Lha wong, Kunto itu sebenarnya memang milik si adik iparku ya Arjuna itu…”

Kresna mengenang kejadian penerimaan anugerah senjata Kunto. Pas ketika Sekjen para dewa, Narada, membawa anugerah Kunto kepada Arjuna, Dewa Surya bikin ulah. Ayah Karna itu menyorotkan cahayanya ke wajah Narada. Sekjen Dewa ini silau. Matanya keriyepan. Karna, yang memang mirip Arjuna sesama putra kandung Dewi Kunti, disangka oleh Narada sebagai Arjuna. Maka, langsung saja Narada menyerahkan Kunto kepada Karna yang disangkanya Arjuna.

Itulah kenangan yang membikin Kresna sedih. Senjata kondang dan pemungkas bernama
Kunto akhirnya jatuh ke tangan yang salah. Meski begitu, Kresna tetap murah senyum. Jauh berbeda dibandingkan keadaan Kresna sepulang dari kunjungannya ke Indonesia yang nyaris bareng dengan kunjungan aktor Pretty Woman, Richard Gere, ke Borobudur.
***

Ponokawan Gareng memastikan, gara-gara utama orang susah senyum itu satu: keadaan
Nusantara sudah begitu ruwet. Bukan saja Kresna yang tidak bisa tersenyum sepulang dari Khatulistiwa. Sengkuni yang sebelumnya murah senyum seperti Kresna pun kini tak mampu tersenyum lagi.

Mahapatih kerajaan Astina itu mengunjungi Jakarta dalam rangka kerja sama peternakan
bekicot bersubsidi. Kerja sama serupa, soal bekicot bersubsidi, pernah Sengkuni galang dengan berbagai negara, seperti Kerajaan Chedi dan Trajutrisno. Sepulang dari negeri yang masing-masing dipimpin oleh Prabu Sisupala dan Prabu Boma Narakasura itu, Sengkuni masih bisa mesem.

Padahal, di Chedi birokratnya nyebelin. Di Trajutrisno para pengusaha bekicotnya nggapleki.

”Sudah separah itukah Nusantara kalau Chedi dan Trajutrisno yang parah saja masih sanggup membuat Sengkuni tersenyum?” tanya Gareng di dalam hatinya. Sejak renungan itu, Gareng tak bisa tersenyum.

Lalu, Gareng terkejut. Datang anak Bagong yang bertanya, ”Senyummu itu manual atau automatic…?”
***

Esok paginya anak Bagong itu kembali datang ke Gareng. Ia masih nanya soal senyum. ”Di negara Pancasila ini sebaiknya hidup saling menolong atau saling tersenyum?” tanya anak berpostur tambun itu.

”Di negeri Pancasila ini, sebaiknya kita saling melirik saja,” jawab Gareng asal, tanpa guratan senyum sama sekali.

Ternyata, besar sekali dampak tak tersenyumnya orang-orang yang semula murah senyum. Hampir seluruh warga kini tidak tersenyum. Dan hampir seluruh warga kini mengalami ketegangan otot wajah. ’’Karena sebetulnya senyum adalah senam gratis buat otot-otot wajah,’’ kata Dewi Undanawati, istri Petruk yang sudah lama ikut senam wajah.

Padahal, dulu orang-orang seperti Sengkuni bisa tersenyum dalam keadaan apa pun. Ketika akal bulus Kurawa dalam pembakaran perkemahan Pandawa ketahuan, Sengkuni yang seharusnya tegang masih bisa mesem. Bahkan, dalam lakon Bale Sigala-gala itu, Sengkuni masih bisa senyum sambil membesar-besarkan rakyat Kurawa bahwa suatu saat usahanya menumpas Pandawa akan berhasil.

Ketika kakak perempuan Sengkuni alias Haryo Suman, yaitu Dewi Gendari, hendak dijodohkan
dengan Destarata yang tunanetra, Haryo Suman kaget dan sedih bukan kepalang. Namun, saat itu pun Haryo Suman alias Trigantal Pati dari Plosojenar masih bisa tersenyum.

Masih banyak cerita lain yang keadaannya begitu parah, tetapi masih tak membuat Sengkuni kehilangan senyum. Sedemikian parahkah keadaan sekarang sehingga semua orang, termasuk Sengkuni dan Kresna, menjadi manusia tanpa senyum?

Haruskah senyum itu disubsidi sehingga untuk tersenyum saja orang harus dibayangi oleh
uang rakyat dan haram atau halalkah senyum yang seperti itu?

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, anak Bagong telah muncul lagi dengan pertanyaannya.
’’Senyummu lebih banyak mendahului atau didahului senyum orang?’’ tanyanya.

Mungkin pertanyaan itu juga diajukan kepadamu…