Sindo

Lelaki, ‘Lelaki’, dan “Lelaki”

6,069 Views

Pekan lalu ketika syuting sebuah film seperti biasa saya bawa alat-alat musik dan buku-buku. Piranti ini sangat bermanfaat untuk mengisi waktu kosong di antara break syuting. Bilang misalnya pas nunggu pergantian adegan, penataan set dan lain-lain. Tentu selain kita bisa mengisinya dengan ngobrol dengan sesama pemain dan kru.

Siang itu, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, saya sudah capek main violin, capek baca buku, capek pula ngobrol ma orang setelah pada break-break sebelumnya sudah saya lakukan itu. Saya juga sudah capek memandangi kolam renang serta para pohon di kawasan areal syuting itu. Saya tiduran sajalah. Eh, Kok ndilalah, di sebelah saya ada artis-artis yang sedang ngobrol. Ya, mau tidak mau saya nguping.

Obrolan berkisar di sekitar pernikahan. Salah seorang bilang sebenarnya dia sudah capek gonta-ganti pacar. “Umur gue udah 29 sekarang,” kata anak muda keturunan Jerman itu. “Ganti-ganti pacar,” katanya, “nggak jelas dapat apa. Yang jelas duit habis.” Padahal untuk menikah, dia merasa juga perlu persiapan.

Dia merasa harus punya rumah lebih dulu, karena tidak enak kalau harus menyusahkan “anak orang” (isterinya). Begitu juga sehabis menikah, dia harus pastikan dulu tabungannya cukup buat kelahiran bahkan sampai sekolah calon anaknya kelak. Baru setelah itu mereka merencanakan kehamilan.

Sambil tiduran dan pura-pura tidur di Cilandak, tepatnya jalan Margasatwa, saya senyum-senyum sendiri mendengar mereka curhat satu-sama lain yang intinya menyangkut soal persiapan masa depan. Sempat pula saya dengar si keturunan Jerman itu nyeletuk ketika teman ngobrolnya, juga laki-laki, mengeluh soal tabungan persiapan pernikahan yang tak kunjung terkumpul, “Ah, sialan lu, lu bikin gue jadi stres. Lu baru 25 tahun aja udah stes. Apalagi gue udah 29 tahun!”

***

Ya, gue, eh, saya senyum-senyum sendiri karena tiba-tiba mendengar mereka ngobrol (dua di antaranya artis perempuan) jadi tinjau diri. Pertama karena saya bertanya normalkah saya dulu yang berbeda dibanding mereka kini? Anak-anak lelaki sekarang kok bisa ya ngobrol akrab ama cewek, tanpa pacaran dengan mereka.

Di zaman saya seusia mereka, seingat saya cuma satu dua anak lelaki yang bisa akrab berteman bahkan bersahabat dengan perempuan, curhat pada perempuan, tanpa harus pacaran dengan mereka. Tapi biasanya lelaki kayak gitu kita bilang banci. Sekarang bukan banci pun, setidaknya dari gayanya, banyak yang akrab dengan perempuan, berkeluh-kesah pada perempuan, tanpa harus menjadi kekasih mereka.

Kedua, saya senyum-senyum, karena bertanya apakah dulu saya normal ketika kawin nyaris tanpa persiapan. Yang saya siapkan cuma keyakinan, bahwa kalau tujuan kita baik, rezeki akan dikucurkan oleh Tuhan. Titik.

Maka, tahun 1989, kawinlah saya tanpa uang yang matang. Saya 27 ketika itu. Kami cukup menikah di masjid. Mas kawinnya pertunjukan teater. Pementasan ini bahkan gratis, karena pemilik Gedung Kesenian Rumentang Siang di Bandung ikutan berpartisipasi. Pemain, panggung dan lain-lain juga gratis karena saya dapat bantuan dari teman-teman Studi Teater Mahasiswa ITB dan Gelanggang Seni Sastra dan Film Unpad.

Ketika konsultasi dengan kiai, KH Chozin Chumaedy (kini pemimpin di partai PPP), ternyata teater ndak bisa dijadikan mas kawin. “Harus benda. Bahkan batu pasir pun boleh. Tapi harus benda,” kata Pak Chozin. Ya sudah, tak kurang akal, potret pertunjukan teater, judulnya Belok Kiri Jalan Terus, saya jadiin album. Album foto-foto pertunjukan itulah yang di masjid saya serahkan sebagai mahar.

Setelah menikah, kami bingung mau tinggal di mana. Ternyata ada teman saya di jalan Gagak Bandung yang merelakan sebagian garasi rumahnya untuk kami tinggali. Kami hanya perlu beli tripleks untuk menutup “ruang tidur”. Begitu dan seterusnya, kemudian istri saya hamil, lantas sampai sekitar 2 tahun tinggal di situ saya mesti pindah mengais rezeki ke Jakarta atas pertolongan Tuhan melalui tangan banyak orang.

***

Siang itu, dalam break syuting untuk film yang sedianya akan diputar akhir Agustus, di antara kepura-puraan tidur sekali-sekali saya curi pandang mereka yang ngobrol. Ternyata mereka tampak kayak laki-laki tulen tuh! Tapi kok mikirnya kayak perempuan ya? Artinya, kok serba cermat, serba persiapan, serba kuatir, serba cemas akan umur dan lain-lain.

Saya curi pandang lagi mereka. Masih kok! Mereka masih laki-laki. Mereka bukan transgender macam Thomas Beatie, orang AS, lelaki yang belakangan menggegerkan dunia lantaran hamil. Atau Lee Mingwei, pelukis Manhattan, yang tahun 2000 lalu melahirkan bayi.

Saya ingin mencuri pandang sekali lagi untuk meyakinkan apakah mereka masih laki-laki, tapi sutradara melalui asistennya sudah memanggil untuk kami mulai syuting kembali.

Kami semua beranjak. Tanpa terasa matahari telah bergeser ke arah barat, sembunyi di antara dahan rambutan dan nyiur-nyiur.

(Dimuat di harian Sindo No. 93, tanggal 4 Juli 2008)