Sindo

Matematika, Air dan Tawuran

5,111 Views

Hari ini, pukul 13.00 wib, saya disuruh ceramah matematika di Kampus Pusat ITB Sayap Timur. Tema keseluruhan acara 2 jam itu beauty of mathematics. Saya kebagian subtopik how would Picasso look at math.

Bakal kayak apa matematika di mata pelukis, atau katakanlah dari alam kesenian? Mungkin begini, matematika yang sesungguhnya bukan cuma urusan hitung-menghitung akan seindah kesenian. Tepatnya, kesenian matang.

Maksud saya, matematika yang selama ini disalahtafsirkan sebatas cuma urusan kalkulasi, sebetulnya sama indahnya dengan kesenian yang sudah mencapai puncak keindahan. Keindahannya bukan karena penuh warna, meriah, penuh gejolak. Keindahannya tercapai justru karena kesederhanaan.

Hanya seniman yang telah dewasa yang sanggup menyajikan hal sederhana namun indah. Kedewasaan itu bisa lantaran perjalanan usia. Bisa pula senimannya masih belia, namun umurnya pejal dan dimampatkan oleh pahit-getir dunia.

Ia dewasa lantaran sanggup mengendapkan seluruh pengalaman batinnya. Responnya terhadap duka-lara tak lagi bergejolak di permukaan. Ia bisa sederhana, lantaran yang ia ekspresikan sebagai karya seni buat sesama bukan semesta endapan penghayatan hidup, melainkan cuma sari patinya.

Kalau ia penyair, kalimat-kalimatnya akan tampak biasa-biasa saja (namun kalau direnungkan indah). Kalau dia pemusik, nada-nadanya seakan semua orang bisa bikin (tapi ternyata ketika dicoba tak semua orang mampu). Kalau dia penari, perpindahan dan gerak badannya tidak penuh akrobatik (namun terasa amat menggerakkan batin para pemirsa).

Kalau dia pelukis, kalau dia orang yang hidup dari garis, bentuk dan warna bagai Picasso, maka garis-warna-bentuk-nya akan tidak indah pada pandangan pertama. Namun memukau pada akhirnya, jika seseorang rela mulai seksama memperhatikannya.

Demikian pula dengan keindahan matematika. Keindahannya tidak hangat, apalagi bergejolak laksana warna-warni es krim. Keindahannya bagai gunung tampak dari kejauhan. Filsuf Bertrand Russel menyebut “keindahan yang dingin”.

Adalah “keindahan yang dingin” manakala dalam matematika kita menemukan persamaan dari puluhan bahkan ratusan pertidaksamaan. Adalah “keindahan yang dingin” manakala kita temukan endapan persamaan singkat macam dalil Phytagoras, dari sekian rumus-rumus persamaan yang muncul dalam bangun segitiga.

Adalah “keindahan yang dingin” manakala pas hari ulang tahun Ibu, sang suami tidak kasih bunga, tak juga ngajak nginap dan makan entah di mana, tapi di luar dugaan cuma menepuk-nepuk pundak Ibu dengan ketulusan yang amat mendasar, dan tanpa kata-kata.

***

Banyak keluhan dari Ibu-ibu menyangkut matematika. Tak jarang malah alergi terhadap matematika. Apalagi kalau harus menghubungkan kemampuan matematika putra-putrinya dengan kemampuan mereka di bidang lain seperti melukis, menyanyi, berpuisi, main teater, menari dan lain-lain.

Mestinya ada hubungan lurus antara kemampuan anak bermatematika dan kemampuan anak berkesenian. Studi dan survei tentang hal itu malah tak kurang-kurang. Bahkan sejak 1990 banyak studi menyatakan kemampuan matematika warga negara berbanding lurus dengan kemajuan negaranya.

Ibu-ibu jadi banyak mengeluh ikhwal matematika, menurut saya, karena matematika diperkenalkan secara agak keliru cuma sebagai urusan angka dan hitung-menghitung. Padahal, bagi saya, matematika itu tak lain adalah bahasa juga.

Matematika adalah cara lain buat kita ngomong atau berkomunikasi, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Satu ditambah satu sama dengan dua, dalam bahasa matematika adalah 1+1=2. Garis tegak dalam sebuah segitiga siku-siku dibagi garis alas, dalam bahasa matematika adalah “tangent”. Dan lain sebagainya.

Jadi, sesungguhnya, di dunia ini selain ada bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Madura, bahasa Spanyol dan sebagainya, ada juga bahasa matematika. Kalau mau lengkap, masih ada bahasa matematika selain bahasa gambar, bahasa gerak, bahasa musik. Dan lain sebagainya.

Bedanya, bahasa matematika, karena penuh simbol, maka lebih singkat. Bedanya, karena simbol-simbolnya tidak bermakna ganda, bahasa matematika lebih konsisten. Dan latihan matematika sepanjang pengalaman saya adalah senam terbaik untuk menjaga sikap konsisten.

Dalam bahasa Indonesia, “laba” itu “untung”. Tapi “laba-laba” bukanlah “untung-untung”. Mendadak itu jadi nama binatang. Sama halnya “kuda-kuda” bukanlah lebih daripada 2 “kuda”, tapi sebuah sikap ancang-ancang dalam kancah persilatan.

***

Ibu-ibu menyangka matematika itu ilmu pasti? Maaf, kalau betul begitu, berarti Ibu-ibu juga korban salah dididik matematika dulu waktu sekolah. Matematika itu seperti kesenian juga lho, banyak nggak pastinya. Matematika hanya melatih kita buat taat pada kesepakatan.

Satu tambah satu belum pasti dua. Mereka hanya boleh jadi “2” kalau kita sepakat sedang bicara dalam sistem bilangan persepuluhan. Kalau kita setuju mengubah kesepakatan dari bilangan persepuluhan menjadi bilangan biner yang cuma kenal “0” dan “1”, maka 1+1=0.

Tak terlatih berbahasa (di luar matematika) dengan baik, kita akan sering tawuran seperti yang belakangan melanda Medan, Cirebon, Palu, Maluku, Palopo dan lain-lain. Tak terlatih berbahasa matematika dengan baik, kita akan kurang menghargai kesepakatan. Misalnya telah kita sepakat melalui dasar negara bahwa air dikuasai oleh negara, tapi nyatanya dikuasai oleh asing. Belum batu bara, emas dan lain-lain…

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 23 November 2007)