Sindo

“Manusia-Akar”, Narkoba, Rokok

4,024 Views

Bulan-bulan ini ada beberapa catatan yang saya bikin. Pertama soal penyalahgunaan Narkoba. Yaitu soal salah kaprah. Masih aja yang ketangkep-ketangkep disebut pengguna Narkoba. Kasusnya juga disebut kasus Penggunaan Narkoba.

Menurut saya yang tepat adalah “Penyalahgunaan Narkoba”. Karena, mungkin hampir semua orang pernah “memakai”. Setidaknya mereka yang pernah sakit dan penanganan medisnya memerlukan Narkoba.

Dengan arahan dokter, Narkoba itu tidak disalahgunakan. Pemakaiannya jadi tertakar. Tujuannya jelas pula. Menghilangkan rasa sakit sementara tindakan medis sedang dilakukan. Mereka tak menjadi urusan para polisi.

Di luar pengawasan ahli kesehatan, Narkoba sangat mungkin disalahgunakan. Ya tentang proporsinya. Ya soal cita-citanya. Ini yang sebenarnya menjadi wewenang para aparat hukum buat menanganinya.

***

Kelihatannya sepele. Cuma urusan perbedaan istilah. Penggunaan Narkoba dan Penyalahgunaan Narkoba. Tapi konsekuensinya panjang pada pola pikir kita. Apalagi di tengah masyarakat yang munafik.

Dengan istilah Penggunaan Narkoba, kita diem-diem dibentuk untuk tak sedikit pun merasa menjadi bagian dari mereka yang diciduk polisi. Dengan istilah Penyalahgunaan Narkoba, kita secara tak langsung diajak buat merasa menjadi bagian yang sah dari korban-korban itu.

Kita dan mereka sama-sama menggunakan Narkoba. Tapi, mungkin, kita menggunakan Narkoba sementara mereka menyalahgunakan Narkoba.

Halnya makin jelas manakala “Narkoba” itu kita ganti “Pisau”. Semua orang menggunakan pisau. Kita akan terperangah jika terbetik berita Fariz RM dan Roy Marten dicokok anak buah Pak Sutanto karena Penggunaan Pisau. Kita pasti meminta pers meralat pemberitaan. Yaitu, bahwa Fariz dan Roy terbekuk polisi lantaran Penyalahgunaan Pisau.

Mengapa “Narkoba” jadi lain? Mengapa ikhwal kata “Narkoba” berbeda dibanding “Pisau”. Mungkin karena pisau tak bersinggungan langsung dengan kemunafikan kita, orang-orang Indonesia.

Hampir tak ada orang yang secara munafik sembunyi-sembunyi menggunakan pisau untuk tujuan benar, misalnya mengupas mangga dan menyayat bawang. Tapi misalnya, di sebuah kawasan di Indonesia, orang sembunyi-sembunyi memasukkan ganja sebagai tradisi bumbu masakan.

Orang-orang di luar kawasan itu, yang kecanduan masakan dari kawasan itu, juga malu-malu mengakui kecanduan makanan dari kawasan itu lantaran campuran ganja. Psikologi massanya hampir sama dengan penggunaan Narkoba di rumah sakit. Nyaris rahasia.

***

Saya kadang iseng berpikir, soal “Penggunaan Narkoba” semula hanya soal salah ketik biasa. Lalu didorong oleh keinginan masyarakat untuk tak mengakui bahwa hampir semua orang pernah menggunakan Narkoba. Bahwa kita berbeda total dibanding mereka. Maka judul sekitar “Penggunaan Narkoba” jadi lumrah. Bukankah dalam pers berlaku hukum, masyarakat hanya menyukai berita-berita seperti yang mereka inginkan?

Masyarakat munafik tak ingin disebut sebagai pengguna Narkoba, maka biarlah yang ketangkep polisi itu dijuduli pengguna Narkoba, bukannya penyalahguna Narkoba.

Masih berhubungan dengan kemunafikan bangsa namun lebih jauh sedikit, masyarakat tak ingin dilibatkan dalam berbagai kasus korupsi. Maka mereka biarkan judul-judul berita penggelapan uang negara sebagai peristiwa korupsi saja. Artinya sebagai murni tindakan pribadi tanpa dorongan dari masyarakat buat melakukan korupsi.

Mestinya, kalau mau lengkap dan bener, topik-topik berita soal penyalahgunaan uang negara itu disebut kasus “dorongan melakukan korupsi”. Dan dorongan terbesar adalah dari masyarakat munafik.

Yaitu, masyarakat yang ingin pejabatnya bersih, tapi secara munafik tak menghargai pejabat yang tidak kaya, yang istrinya tak penuh ratna mutu manikam, yang anak-anaknya naik angkutan kota murahan, yang tidak mampu menyumbang banyak hal mulai pembangunan rumah ibadat sampai kegiatan-kegiatan kesenian dan olahraga.

***

Ibu-ibu, kita telah belajar banyak dari berbagai kasus kemunafikan, dari judul “Penggunaan Narkoba” sampai soal-soal korupsi yang seolah-olah terjadi dengan sendirinya tanpa anjur dan topangan dari masyarakat. Kapan bahan pelajaran ini akan kita gunakan dan tak cuma kita biarkan teronggok sebagai bahan pelajaran?

Sampai kapan tulisan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” tidak kita usulkan untuk dilengkapi dengan “tapi juga memberikan pajak dan lapangan kerja yang sah bagi negara lho”? (Kalau Narkoba yang disalahgunakan sudah jelas, tidak ada kontribusi pajaknya. Lapangan kerja yang terbentuk seperti pengedar, juga ilegal).

Soal “manusia-akar”misalnya. Kapan kita tidak lagi marah-marah pada orang asing dan pihak-pihak swasta di tanah air yang diduga membisniskan suatu malapetaka? Tak marah-marah lagi karena government sudah bikin tindakan sejak awal, bukan ketika petaka itu sudah ditangani swasta tanah air dan asing, baru secara munafik kita dan government mencak-mencak?

Satu dua orang telah belajar dari kemunafikan yang bikin bangsa ini kian merosot. “Merah-Putih” tak secara munafik mereka terjemahkan “berani karena benar”, tetapi seperti aslinya yaitu “akui dan terimalah apa adanya baik dan buruk bangsa ini.”

Ketika pemusik Fariz RM tertangkap dalam kasus penyalahgunaan Narkoba, saya mendengar telepon yang mengharukan dari Kalimantan pada siaran televisi Jakarta. Isinya: Apapun yang terjadi pada Fariz, dia akan tetap hormat. Dia akan tetap merasa berhutang budi, karena lagu-lagu Fariz banyak mendorong semangat hidupnya.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 30 November 2007)