AREA 2007 - 2008

Mungkin Imlek Perayaanku Jua

10,752 Views

Apa yang kau ketahui tentang Imlek? Wah, jujur aja aku ndak tahu apa-apa. Tahuku cuma, bahwa pada saat itu ada banyak tontonan mirip Sisingaan ala kesenian tradisional orang Subang.

Tahuku bahwa, warna-warni dalam liong, barongsai dan sejenisnya itu merah dan kuning. Warna-warna dasar ini pula yang banyak aku jumpai dalam pementasan tradisional nusantara.

Merah dan kuning misalnya tak cuma aku jumpai dalam banyak kostum pementasan di Sumatera, Kalimantan dan sebagian Sulawesi. Selendang-selendang wayang orang dan tari-tarian di Jawa banyak yang memggunakan warna-warna elementer itu.

Orang-orang Betawi tak tampak kecinaannya pada busana. Mereka lebih dekat pada pola busana Melayu. Mirip orang-orangnya Mahathir Muhammad atau Anwar Ibrahim, atau kayak orang Brunei Darussalam yang kesasar di Jakarta…

Tapi kalau aku mendengar bunyi musik tanjidor…kalau aku dengar suara alat gesek (rebab) mereka…Aku pasti segera ingat Cina. Dan kadang-kadang sebaliknya. Kalau aku dengar musik Cina, aku seperti mendengar musikku sendiri..

Kebetulan daerah masa kecilku, yang dekat Banyuwangi, kota dengan pola-pola gamelannya yang mirip daerah pesisir Bali, yang mendayu-dayu sekaligus dinamis dan gesit, sangat dekat dengan musik-musik Cina.

Penanggalan Imlek juga dekat dengan pola-pola almanak di kawasan yang aku pernah lama tinggal, Parahyangan. Seperti halnya kalender Sunda, kalender Imlek seakan merupakan perpaduan kalender Masehi (berdasarkan matahari) dan kalender Islam (berdasarkan bulan).

Seakan-akan mirip kalender Sunda juga, perhitungan hari per bulannya mengacu pada sistem lunar (rembulan), namun selisih 11 hari per tahunnya lalu mereka sesuaikan dengan sistem solar (matahari) melalui mekanisme penyusupan bulan ketiga belas sebanyak 7 kali dalam kurun waktu 19 tahun.

Koreksi atas penyisipan ini membikin awal Tahun Baru Imlek selalu berada dalam rentang waktu antara 21 Januari- 19 Februari, tidak bergeser semakin jauh dari zaman ke zaman.

Tapi kenapa Imlek pernah tidak saya rasakan sebagai bagian yang sah dari kebudayaanku? Ya, ndak tahu. Mungkin karena pernah dilarang oleh penyelenggara negara.

Bukankah orang bisa leluasa menyelenggarakan Imlek sampai selibur-liburnya baru setelah ada Keppres No. 6 tahun 2000, kalau ndak salah pada zaman Gus Dur jadi presiden?

Akibat belum ada keputusan itu, banyak kelenteng yang lebih mewakili budaya tertentu (bukan agama), harus diberi nama segala sesuatu yang bernuansa agama, dalam hal ini Buddha. Maka kantung-kantung kebudayaan kelenteng diberilah nama vihara, cetya, sanggar dan lain-lain.

Ketika sesuatu lebih tampil sebagai budaya, tidak terlalu bernuansa agama maupun negara, sesuatu itu memang lebih mungkin untuk berbaur.

Mungkin ke depannya, perayaan Imlek tidak saja menampilkan tarian barongsai lengkap dengan angpaw-nya. Diskusi-diskusi perlu juga digencarkan. Misalnya, bahwa kebesaran Majapahit pun mungkin tak lepas dari pembauran kita dengan Cina.

Sering kita dengar misalnya bahwa beberapa Wali Sanga yang menyebarkan Islam adalah keturunan Cina. Dan kita tahu, salah satu tokoh cikal bakal Majapahit yang sanggup mengusir tentara Mongolia adalah Raden Wijaya. Apakah dia Cina?

Wah, saya ndak tahu. Yang jelas, banyak banget orang-orang Tionghoa sampai kini yang pakai nama belakang Wijaya, tak cuma teman saya, artis Paquita Wijaya…

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 45, Desember 2008 )