Sindo

Pendidikan untuk tak Mati di Pesawat

3,490 Views

Mari kita berdoa. Ciyee…Bukan saja buat para korban pesawat Garuda di Yogya. Tapi juga buat diri kita sendiri agar kita selalu teringat, setiap detik, bahwa batas antara hidup dan mati sangatlah tipisnya.

Mari, ibu-ibu, kita ingat juga kisah bijak tentang murid yang bengong melihat gurunya tenang-tenang saja tatkala ombak memecah sampan mereka di samudera. Keduanya cuma terapung-apung di atas serpih-serpih perahu.

Gile, kok di lautan tadi Pak Guru kalem-kalem aje?” tanya sang murid setelah terdampar. Jawab sang guru santai, “Karena batas antara hidup dan mati sesungguhnya tipis tidak cuma di atas perca-perca perahu. Batas itu sudah tipis bahkan di atas ranjang.”

Ya, ibu-ibu. Di mana dan kapan pun, sesungguhnya batas hidup-mati amatlah rapuh. Tanpa doa tadi, saya khawatir kita cuma menyangka bahwa tirai antara mati dan hidup cuma transparan manakala kita naik pesawat dan kapal laut di Indonesia.

Dari butir kisah bijak tadi, setiap perpisahan bisa berarti pisah abadi. Bahkan melepas anak, suami atau istri tidur di rumah saja, bisa setara layaknya pelepasan di tanah makam: Pisah selamanya. Survei membuktikan, lebih banyak orang mati di atas tempat tidur ketimbang di kecelakaan manapun termasuk kecelakaan pesawat.

“Wah, kalau begitu, kesimpulannya, jangan tidur di atas ranjang, tapi tidurlah dalam pesawat…”

Ah, kalau ini soal lain lagi. Anak yang punya kesimpulan begitu, berarti logikanya belum terasah. Dia harus dididik. Karena inti pendidikan adalah mengasah dan mengembangkan logika siswa. Sehingga kelak di kancah masyarakat, logikanya bernas ketika ia harus bikin kesimpulan dan menetapkan sikap.

***

Problemnya, sekolah kini kian mahal. Dan problem ini sama bahkan mungkin lebih gede ketimbang perkara transportasi. Sebelum harga sembako dan ongkos ojek naik kayak sekarang aja, dulu kita mencatat per tahun kira-kira 700-an ribu anak putus sekolah dasar dan 200-an ribu anak putus sekolah menengah pertama.

Sekarang ndak usah ke pelosok…, hanya kurang 50 km dari Jakarta saja seabrek anak-anak putus sekolah lantaran biaya. Misalnya di desa Megamendung, kawasan Puncak.

Orang Jakarta mungkin tidak semiskin orang-orang Megamendung itu. Tapi sekolah-sekolah di Jakarta bisa narik uang masuk Rp 15-25 juta dengan SPP sampai hampir sejuta per bulan. Gandhi Internatioanl High School bahkan narik uang masuk bisa sampai Rp 80-an juta. Per bulannya para orangtua mesti merogok kocek antara Rp 5-10 jutaan.

Itu sudah pakai nama Gandhi lho ya, pelopor pendidikan murah. Kebayang kalau nanti di Jakarta tumbuh sekolah-sekolah yang pakai nama-nama selebriti mahal. Misalnya, Tom Cruise International School.

Tapi, coba ibu-ibu, siapa yang tidak pengin pendidikan bagus buat anaknya. Hayo! Saya sendiri kalau punya duit cukup, akan nyekolahin tuh anak ke Gandhi di Jakarta Utara itu, yang kualitasnya emang oke.

Temen saya, Chichi Kadijono, koreografer, juga pusing ama ongkos pendidikan. Tapi ia tak mau sembarangan. Bagi ibu dua anak lelaki ini, pendidikan tetap sentral. Walau ia harus pontang-panting buat biayanya (Chichi juga dikenal sebagai pembuat kue yang baik).

“Anak-anak saya selalu masuk sekolah swasta yang cukup bagus…SMP Tarakanita, SMU Don Bosco dan kuliah di Trisakti,” kata Chichi yang dulunya juga dipilihkan sekolah-sekolah terbaik oleh orangtuanya.

Pemusik Dian HP juga pusing meski sering mesem-mesem ketika kita lihat main piano di televisi. Biaya masuk anaknya di SMU AL Izhar Pondok Labu Rp 22 juta dan SPP-nya Rp 800 ribu. “Tapi wajarlah. Karena sekolahnya memang bagus,” katanya.

Dan saya lihat sendiri, Dian bukannya tak ter-mehek-mehek buat biaya itu. Tapi ibu dua anak ini, sama dengan Chichi, memandang pendidikan mutlak penting. “Dan satu lagi yang saya suka dari sekolah itu. Programnya tidak hanya pendidikan di kelas. Mereka itu ada program terjun ke lapangan untuk observasi masalah sosial,” tambahnya.

***

Untuk ibu-ibu yang anaknya tak sampai putus sekolah, namun tak kuat secara nyekolahin anak ke Al Izhar, Tarakanita sampai Gandhi, ada jalan keluar: Doa. Itu misalnya yang dilakukan orangtua Sri Mulyani yang kini jadi ibu menteri. Saya kebetulan pernah dekat dengan kakak-kakak ibu menteri itu waktu di Bandung. Saya jadi denger bahwa ayahnya di Semarang selalu laku prihatin, termasuk kerap puasa saat weton kelahiran anak-anaknya. Semua anaknya kini jadi “orang”.

Perlu juga menanamkan kemauan pada anak. Waktu SMP di Situbondo dulu saya punya temen sangat melarat. Tapi orangtuanya membikin kemauan temen ini baja. Tiap hari dia nongkrong di pompa bensin sebelah rumah saya. Ia tungguin bus-bus yang mau ke Bali dan isi bensin. Setiap ada turis asing turun, dia coba ajak omong. Sekarang dia, namanya Soni, jadi pengajar bahasa Inggris yang handal.

Logika Soni terasah pelan-pelan untuk menetapkan bidang kerjanya, dan bagaimana cara mencapai bidang itu, secara atau tak secara sekolah.

Lebih banyak orang mati di ranjang ketimbang di pesawat? Soni nggak bakal menyimpulkan, kalau gitu jangan bobo di ranjang, bobolah di pesawat…

(Dimuat di harian Sindo, Tanggal 9 Maret 2007)