AREA 2007 - 2008

Perlip dan Cinta: “C”erita “IN”dah “T”iada “A”khir

3,893 Views

Sebelumnya yang kerap saya kampanyekan soal cinta adalah bahwa inilah satu-satunya sikap di dalam hidup yang tak ada dasarnya. Tak ada alasannya. Tak ada “mengapa”-nya.

Jika kau ditanya mengapa jatuh cinta pada seseorang dan kau bisa menjawabnya, maka tragedi sudah terjadi. Malang benar. Hidupmu tragis ternyata. Ternyata kamu belum menemukan cinta.

Kamu baru mengenal itung-itungan. Kamu baru kepergok kalkulasi. Kamu baru menjumpai rasa hati laksana cinta, mirip-mirip cinta, tapi sebetulnya belum kau rengkuh cinta yang jati.

Itu baru soal cinta yang melenceng artinya menjadi pseudo cinta alias cinta yang semu. Di kebudayaan manapun memang banyak kata-kata yang maknanya jadi meleset dari pengertian semula. Salah satu contohnya “bergeming”.

Dalam perjalanan waktu, “bergeming” yang semula berarti tak bergerak menjadi bergerak. Kalau ada cewek yang tetap diam dan tak mempan rayuan, orang menyebut cewek itu “tidak bergeming”. Padahal “tidak bergeming” justru berarti “tidak tak bergerak” alias “bergerak” atau merespon.

Dua cara saya usulkan untuk menghadapi kata-kata yang sudah ke luar jalur arti seperti cinta, dari sikap hidup tanpa alasan menjadi beralasan. Pertama cari kata baru.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir ada kata “perlip”. Ini punya arti yang sama luhurnya, bahkan lebih tinggi, ketimbang cinta. Tapi entah perlu waktu berapa tahun buat memasyarakatkan itu. “Sangkil” dan “mangkus” sudah dua puluhan tahun diperkenalkan tetap saja tak bisa menggantikan “efektif “dan “efisien”.

Langkah kedua adalah mengembalikan cinta pada jalur arti semula. Bukan cuma memperkarakan jenis-jenis cinta seperti cinta Eros, cinta Casanova, Cinta Julio Iglesias, Storge Love, Pragma Love, Agape Love, Empty Love dan lain-lain.

Ya. Mengembalikan cinta pada rel arti semula. Yaitu sikap hidup yang tanpa reason. Ini agar hidup menjadi indah. Ada semacam oase tanpa reason ketika seluruh langkah kehidupan menuntut adanya reason. Bahkan iman kepada Tuhan juga dibikin oleh sebagian agamawan formal menjadi sesuatu yang reasonable.

Hobi dan pleasure aja ada alasannya. Kenapa kau suka boling, kenapa suka desain Samuel Wattimena dan Oscar Lawalatta, kenapa berlibur ke Bali, kenapa kalau tidur suka merebut selimut…semua ada alasannya.

Tapi seyogyanya kamu tak bisa menjelaskan kenapa kamu jatuh cinta pada seseorang, apa karena dia orang Padang, kaya, pintar main gitar, satu cita-cita, kulitnya sawo matang, dialek Indonesianya asyik, baik hati dan sebagainya.

Dan cinta, mungkin seperti kata seorang sopir taksi dalam perjalanan saya dari Surabaya ke Malang, “Tahu nggak CINTA itu apa Cak Tejo?” Dijawab sendiri sambil merem-melek sampai nyaris nabrak becak, “Cerita INdah Tiada Akhir…”

Dan cinta, mungkin seperti kata-kata V pemimpin revolusi yang diperankan Hugo Weaving dalam film V for Vendetta. Tak ada yang lebih menggerakkan hidup ketimbang cinta. Sebelum detik-detik terakhir merobohkan lambang tirani modern, gedung parlemen, tokoh ini minta satu hal pada Evey, kekasihnya (diperankan Natalie Portman), yaitu musik dan dansa.

Ini malam revolusi. Kenapa? Tanya si perempuan. Laki-laki itu cuma tersenyum. Katanya, “Aku tak bisa membayangkan adanya revolusi yang nggak diawali dansa (cinta).”

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi No. 103, tanggal 15 Januari 2008)