AREA 2007 - 2008

Seks, Dangdut, Politik

4,628 Views

Saya merasa termasuk orang yang relatif merdeka di dunia. Bisa ngomong yang oleh orang dianggap jorok. Di mana pun. Asal bukan di tulisan. Soalnya pasti diedit ama redaktur.

Anak-anak perempuan saya sendiri kadang saya panggil dengan ‘vagina’ dalam bahasa Indonesia atau Jawa. Prinsip saya, tak ada hal jorok di dunia. Kalau jorok tak mungkin capek-capek diciptakan oleh Tuhan. Yang jorok adalah pikiran kita tentang hal yang kita nilai porno itu.

Seringkali anak saya di-strap di sekolah karena mungkin ketularan bapaknya. Ngomong hal-hal kayak gitu bahkan terhadap gurunya di kelas.

Untuk soal lain saya sendiri ketularan Rusdy Rukmarata, sutradara dan koreografer, bahwa anak-anak biarin aja nonton adegan ciuman. Lebih baik mereka nonton mesra-mesraan, lebih baik mereka punya optimisme bahwa manusia bisa sayang-menyayangi, ketimbang nonton adegan perang dan baku bunuh.

Televisi di Indonesia tak menayangkan adegan ciuman. Okelah. Tapi, mestinya, agar adil, mereka juga tak kasih tempat buat adegan maupun pemberitaan perang serta hal-hal keras lainnya.

Ya, saya merasa termasuk orang yang relatif merdeka di dunia. Tapi tidak setelah sekitar dua pekan lalu menonton pertunjukan dangdut di seputar Jakarta.

Tiba-tiba saya merasa belum apa-apa dibanding para seniman dangdut itu. Gila, di tengah menyanyi, mereka bisa tiba-tiba buka payudara. Di tengah menyanyi, tiba-tiba mereka bisa merunduk. Ngliatin bokongnya ke penonton.

Penonton lantas ada yang naik ke panggung. Dan masih anak-anak. Dia bergerak-gerak mengikuti beat dangdut di depan bokong penyanyi yang merunduk itu. Persis adegan senggama dari belakang.

Dan gilanya, adegan ini juga ditonton oleh anak-anak. Karena terjadi pada sesi hiburan perhelatan nikah. Terbuka buat umum. Jadi bukan di gedung yang dikarciskan dan bisa diseleksi usia calon penontonnya.

Kurang apa lagi ya menariknya dangdut? Saya rasa dangdut sendiri sudah menarik, tapi orang masih membutuhkan daya tarik lain agar dangdut jadi menarik.

Saat itu saya langsung ingat omongan wakil presiden Yusuf Kalla. Katanya kampanye tidak ditentukan oleh musik. Yang penting visi dan misi serta program-program yang disampaikan dalam kampanye.

Saya ragu. Soalnya dangdut lebih menarik ketimbang politik. Itu pun orang masih perlu buah dada dibuka. Apalagi kampanye politik.

Kalau misalnya musik klasik Addie MS atau musik kontemporer Tony Prabowo dipentaskan di kampung dan dibumbui penarik adegan seks, mungkin saya masih bisa paham.

Ini dangdut. Pasti jauh lebih dirubung ketimbang musik yang berat-berat. Eh, ternyata untuk membuatnya dirubung, penyanyinya masih harus main singkap-singkapan kutang.

Sekali lagi, itu dangdut lho. Apalagi politik.

Salah satu survei tahun ini menyebut, visi dan misi seorang calon cuma menempati urutan keempat sebagai hal yang menentukan seorang calon dipilih. Urutan pertama adalah duit. Sebesar apa seorang calon eksekutif maupun anggota parlemen bisa nyuap khalayak.

Waktu membaca hasil survei itu saya bisa paham. Dan yakin bahwa sampai beberapa tahun ke depan duit masih menduduki tempat pertama dalam politik. Tapi tidak setelah menonton adegan seks dalam dangdut. Selamat memasuki tahun politik 2008.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi awal tahun 2008)