AREA 2007 - 2008

Pernikahan Alengka dan Kita

3,896 Views

Soal pernikahan tak ada yang lebih tragis ketimbang Danapati, raja Lokapala dalam riwayat sebelum Ramayana. Alkisah raja yang masih perjaka ini kepengin banget bisa kawin ma Dewi Sukesi dari Alengka, perempuan cantik bintang dunia yang kelak bakal jadi ibu Rahwana alias Dasamuka.

Paman Sukesi mewakili keluarga Alengka bikin pernyataan, ia hanya rela keponakannya dinikahi oleh laki-laki sakti dan teruji. Singkat kata, siapa yang sanggup mengalahkan dirinya, ya cuma dialah yang berhak atas Dewi Sukesi.

Karena minder tak bisa unggul dalam sayembara perang merebut Sukesi, Danapati alias Danaraja meminta bantuan ayahnya, Wisrawa, seorang pertapa tua namun sakti tiada tara.

Tak ada yang bisa melampaui kesaktian Wisrawa, termasuk sekaliber Jambumangli, paman Sukesi.

Setelah dunia gempar atas kemenangan raya itu bertemulah Wisrawa dengan Sukesi di taman Argasoka, Alengka. Maksud hati Wisrawa mau melamar Sukesi atas nama anaknya, Danapati. Apa daya Sukesi jatuh cinta pada kakek-kakek ini dan mengancam bunuh diri jika cintanya bertepuk sebelah tangan.

Mereka menikah dan beritanya sampai ke kerajaan Lokapala.

Danapati ngamuk!!! Ia bersama pasukan Lokapala menyerbu Alengka. Seluruh Alengka telah menjadi lautan api kecuali ranjang bulan madu Wisrawa-Sukesi. Wisrawa akhirnya beranjak menemui anak laki-laki satu-satunya.

Dan inilah perang paling sedih dalam pertunjukan wayang. Repertoar gamelan pengiring perangnya juga repertoar yang gloomy. Pasalnya, Wisrawa-Danapati dua-duanya udah ibarat cinta mati.

Keduanya saling mencintai dan mengagumi, tetapi harus bertempur jua. Pada titik ketika Danapati yang juga sakti nyaris kalah dan sekarat, Wisrawa menjunjungnya.

“Ini tidak adil, Nak,” kata Wisrawa, “karena ilmuku lebih unggul. Sekarang aku wejangkan ilmu pamungkasku kepadamu sehingga kedudukan kita seimbang dan kita lanjutkan perang.”

Perang seimbang kemudian berlangsung. Ujug-ujug Batara Narada atas nama para dewa turun melerai. “Danapati, kamu benar,” katanya,” tapi salah. Salahmu, kamu berani terhadap bapakmu. Maka kami kutuk kamu Danapati kelak akan mati oleh anak pasangan Wisrawa-Sukesi!!!”

Kelak, Danapati memang ternyata mati mengenaskan di tangan Rahwana.

Tak ada kutukan verbal para Dewata terhadap Wisrawa, mungkin karena para dewa memaklumi bahwa tak ada yang salah dengan mencintai seseorang. Wisrawa tak salah mencintai Sukesi, karena cinta itu gaib. Datang dan perginya tak bisa manusia kuasai dan kendalikan.

Tak ada kutukan verbal. Namun lihatlah, Sukesi melahirkan darah. Bukan bayi. Genangan darah yang anyir dan menjijikkan itu akhirnya menggeliat-geliat menjadi janin, menjadi bayi, dan jadilah Rahwana dengan teriakan pertama yang bikin geger semesta.

Mungkin…mungkin…dalam pernikahan, mungkin kita juga perlu waspada pada segenap orang tua, baik orang-orang tua dari pihak kita maupun dari pihak pasangan.

Jambumangli yang maju sebagai benteng sayembara keponakannya, Sukesi, diduga cinta mati pada Sukesi. Ia maju sayembara bukan agar Sukesi mendapatkan suami tangguh, karena Jambumangli yakin di dunia ini tak ada yang lebih tangguh daripadanya.

Saya punya teman di kawasan timur Indonesia, kerjanya di kafe, yang curhat karena setidaknya sekali seminggu harus melayani seks mertuanya, seorang kakek-kakek usia 70-an.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 27, tanggal 26 Maret 2008)