Sindo

Dari Jakarta, eh, “Zuakakhtha” ke “Nuswantoro” eh, “Nyusantakha”

3,645 Views

Tiga harian lalu saya mengantar bakal calon presiden Pemilu 2009 ke orang “pintar” di kawasan Jawa Tengah. Tujuan kami bukan untuk meminta doa restu. Saya tahu bakal calon yang ini tidak percaya hal klenik-klenik model begini.

Kami berangkat sekitar pukul 02.00 dini hari dari Yogyakarta. Di mobil, di awal perjalanan, karena tokoh ini tampak masih terkantuk-kantuk, kecapekan dan terpaksa “nurut” saya ajak, saya matur, ini tidak ada hubungannya dengan doa mistis, ramal-meramal dan semacamnya.

Ini hanya untuk refreshing sang tokoh tentang realita di Tanah Air. Bahwa, antara lain, pertama, suka atau tidak, masyarakat yang bakal dipimpinnya di sini masih percaya pada hal-hal yang berbau perdukunan.

Kedua, bahwa sebagai calon pemimpin, tokoh ini harus kembali berlatih menyegarkan kemampuannya untuk bisa berkomunikasi dengan siapa pun warga Indonesia, termasuk orang “pintar” itu yang buta aksara Latin dan kurang lancar berbahasa Indonesia.

Sekitar subuh kami baru sampai tujuan, di suatu dusun yang luas pesawahannya dan berlatar gunung-gunung. Setelah sekitar tiga jam hang menunggu, akhirnya orang “pintar” ini berkenan keluar menemui kami.

Saya lihat sang calon presiden berjabat tangan seperti pada teman sejawat. Ia tidak mencium tangan Pak Kiai seperti halnya tamu-tamu lain. Percakapan juga dilakukan campur-aduk oleh calon presiden ini, antara Bahasa Indonesia, Jawa Ngoko dan Jawa Kromo Inggil.

***

Ibu-ibu, sudah tentu buat sajian bacaan Ibu-ibu kali ini topik saya menyangkut cerita tadi bukan soal politiknya. Tapi soal komunikasinya. Bagaimana pada perasaan-perasaan tertentu sang calon presiden ini tak selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.

Memang ada sih Indonesia-nya. Tapi, untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan tertentu lainnya ia gunakan bahasa Jawa. Itu pun masih terpilah dua. Pada situasi tertentu calon presiden ini pakai bahasa Jawa “kasar” (Ngoko). Pada situasi khusus ia pakai bahasa Jawa “halus” (Kromo Inggil).

Ini kembali menegaskan kita, bahasa bukan cuma urusan menyampaikan buah pikiran. Bahasa memiliki nuansa rasa, nuansa sopan-santun dan lain-lain.

Di muka umum di Indonesia, Sampeyan tak bisa menyebut kemaluan dalam istilah Indonesia, Jawa, Sunda, Batak dan lain-lain. Sampeyan akan menyebutnya penis maupun vagina.

Dengan menyebut penis pun vagina, Sampeyan akan tetap dianggap santun karena dengan itu nuansa ilmiah lebih kuat ketimbang nuansa pornonya. Apalagi kalau Sampeyan menggunakan kosa kata Latin yang dipercaya sebagai salah satu cikal-bakal bahasa ilmu pengetahuan.

Contoh lain. “Kangen”, “rindu” dan “miss” punya pengertian yang sama. Tapi beberapa teman saya lebih sreg dan tuntas kalau menyatakan perasaan semacam itu dengan “kangen”.

Ketika saya sowan ke pesantrennya di Rembang, Kiai Mustofa Bisri menyambut saya dengan percakapan Jawa. Hanya untuk momen-momen tertentu Gus Mus, panggilannya, pakai bahasa Indonesia.

Tapi ketika dua pekan lalu di Erasmus Huis Jakarta, Gus Mus membacakan puisi sufi karya Jalaluddin Rumi, ia pakai bahasa Arab. Bukan terjemahan Indonesia-nya seperti para pembaca yang lain.

Alasannya, ada semacam rasa senang yang tak cukup terwakili oleh kata “bahagia” dalam bahasa Indonesia maupun “happy” dalam bahasa Inggris. “Dalam bahasa Arab lebih pas,” kata Gus Mus, sambil membayangkan akan lebih pas lagi sebetulnya jika perasaan itu diungkapkan dalam bahasa Parsi seperti aslinya.

***

Kini makin santer muncul tantangan agar Indonesia kian memperkuat bahasa Inggrisnya. Positifnya banyak. Antara lain dampak bagusnya buat pariwisata. Jangan lupa, Filipina kedatangan 1 juta turis Korea pertahun untuk belajar bahasa Inggris tiga bulan sampai setahun.

Ketika Danau Toba tak dijadikan sasaran Tahun Kunjungan Wisata Indonesia tahun ini karena dinilai tak siap, antara lain lantaran penduduknya jarang yang bisa bahasa Inggris, tersiar kabar 350 juta warga Cina menggebu-gebu belajar bahasa Inggris.

Suka atau tidak, bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional meski Mandarin dikabarkan bakal menyusul, seiring Cina yang konon bakal menggeliat jadi Pan Cina Raya tahun 2020 nanti.

Sejak zaman Presiden AS John F. Kennedy sampai Ronald Reagan yang mengakhiri perang dingin bersama Michael Gorbachev, dunia lebih tertaburi budaya populer (bahasa Inggris) asal Amerika daripada budaya populer asal Uni Soviet yang hampir sama sekali tak terdengar gaungnya pada waktu itu sampai kini.

Tapi ada peringatan dari artis Ira Wibowo dan presenter Melissa Karim ketika kami wawancara buat Seputar Indonesia ini. “Bahasa Inggris itu penting. Tapi saya pribadi kurang suka kalau bahasa Inggris menjadi bahasa utama kita. Banyak tuh anak-anak teman saya yang masih kecil-kecil, tapi lebih fasih bahasa Inggris daripada Indonesia. Wah..saya rasa gak bener tuh,” kata Ira.

Di hare gene…kalau sampai ada profesional Indonesia belepotan bahasa Inggrisnya, kata Melissa, “Norak..Ke laut aja kali…” Tapi peringatan Melissa, bahasa Indonesia juga harus dibangun melalui penerbitan karya sastra yang bagus. Jadi meski fasih berbahasa Inggris, orang Indonesia tak kehilangan jati dirinya.

“Dulu kalau ngomong, gue gak bisa pake bahasa Indonesia secara full. Pasti banyak bahasa Inggrisnya. Karena waktu itu gue gak tahu kosa kata penggantinya dalam bahasa Indonesia. Setelah SMU, gue baru menemukan ada satu sastra Indonesia yang menarik untuk dibaca. Serat Centhini, dari zaman Sultan Agung. Menurut gue bagus banget dan cuma satu itu yang bagus.”

Peringatan saya….Ehmmm…ah idem dito aja dah ma Ira dan Melissa, Ibu-ibu. Cao!

(Dimuat di harian Sindo No. 78, tanggal 21 Maret 2008)