Saya mengenal wine bukan dari kalangan “hitam”. Seorang pelukis yang cukup terkenal…dan lebih penting dibanding kecantikannya adalah kesehatan serta energisitasnya… ngasih tahu saya, wine bagus buat pelancaran darah.
Malam itu, dulu sekali, di kawasan Kebayoran Baru Jakarta, saya tidak percaya pelukis ayu ini bugar lantaran vitamin tok! Memang ia konsumen vitamin fanatik. “Saya ini ratu vitamin,” ujarnya sambil tergelak. Derai tawanya memenuhi studio lukisnya.
Tapi saya tetap tak bisa ia yakinkan sehatnya cuma lantaran vitamin. Ia bisa melukis sampai subuh. Abis itu terbang ke New York, Beijing…balik lagi ke Jakarta, Bali, Paris…pulang lagi…melukis lagi sampai Subuh. Kadang cuma dengan daster. Angin malam pasti akrab dengan tubuhnya, karena seperti umumnya orang melukis, ia pun melukis pada ruang terbuka.
Belakangan ia membuka rahasianya: Sebagian urusan perawatan badannya yang kuning langsat kulitnya itu diserahkannya pada wine.
Saya mengenal wine bukan dari kalangan “hitam”. Ada lelaki politisi yang tampaknya bukan dari gerombolan politisi busuk selalu membawa wine di mobilnya, Mercedez seri S.
Manakala bertemu teman-temannya, termasuk saya, dan manakala ia merasa lagi butuh, sopirnya mengambil botol wine berikut gelas-gelas wine-nya. Kami lantas menenggak wine dan mulai ngalor-ngidul tentang apapun, dari bicara politik, agama, sampai perbedaan perlakuan perempuan ke laki-laki di berbagai penjuru tanah air.
Pernah saya bertanya kepada politisi dari partai besar ini, apakah di kantornya, di Gedung DPR Senayan, juga tersedia banyak wine. Ia bilang tak ada. “Bukan mau sok suci,” katanya,”tapi anak buah dan tamu-tamu bisa salah tafsir kalau aku taruh wine di ruang kerja.”
Saya mengenal wine bukan dari kalangan “hitam”. Penyair, secara umum, sudah tentu tidaklah orang-orang dari “dunia hitam” seperti tukang santet, tukang tenung maupun tukang sihir.
Ya, saya mengenal wine atau anggur justru dari sajak-sajak religius seperti karya-karya sufi Jalaluddin Rumi dan Sutardji Calzoum Bachri. Banyak sekali bertaburan kata-kata “anggur” di situ untuk melukiskan suasana hati kesadaran kesemestaan atau dalam istilah Tardji, “mabuk Tuhan”.
Dan saya mengengal wine dari beberapa sahabat yang berlainan agama dan keyakinan, tapi sudah pasti mereka termasuk yang serius dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Di Bandung, saya pernah diajak minum wine seorang sahabat beberapa menit sebelum ia memberi khotbah dan memimpin misa Natal.
Di Jakarta, seorang sahabat minum wine sehabis menyelenggarakan pengajian. Mereka mengundang saya ke Ritz Charlton, merayakan kefanaan Jakarta dengan wine.
Gelasnya macem-macem, ada yang lean, tulip shaped bowls, burgundy style bowls. Wah, sekilas saya sedang membayangkan jadi Peddy Wongso, Michael Kurniawan, Ronny Wongkar dan tokoh-tokoh lain pecinta wine, atau Anthony-Rudy Akili yang mendirikan Mulia Wine Club.
“Wine itu dilarang untuk umum. Karena orang pada umumnya tak tahu takaran. Mereka suka melampaui batas. Mereka bisa sampai mabuk. Tapi orang-orang tertentu tahu takaran. Dan wine menyehatkan kalau tertakar,” kata salah seorang yang mengundang saya.
Saya tidak tahu apakah dia bercanda apakah dia serius. Di luar Ritz Charlton, kawasan Sudirman, kehidupan malam terus berdenyut. Lampu-lampu busway, lampu-lampu taksi, pejalan kaki, dan bayangan pohon-pohon jalanan rebah di aspal oleh lampu-lampu merkuri….
(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 35, tanggal 11 Juli 2008)