Sindo

Tanah Air

4,940 Views

Pekan-pekan belakangan ini saya banyak berjumpa kawan lama. Sebagian bertemu langsung. Sebagian via telepon. Pekan lalu saya ke Bandung. Dan sampai sekarang saya masih tergugah oleh pernyataan Herry Dim, perupa dan sekaligus pengamat kesenian.

Katanya, “Lagu Nyiur Melambai yang mencerminkan betapa suburnya negeri pertiwi, kini lebih terasa sebagai ironi yang pedih ketimbang tembang nan merdu.”

Mungkin karena kita merasa bahwa sesungguhnya makin sukarlah hidup di “nusa kelapa” ini. Tak peduli mau kayak apa persisnya angka kemiskinan dalam statistik dan segala perdebatan ilmiahnya, makin naik apa makin turun, versi Bank Dunia atau versi BPS. Yang jelas, memburu kerja makin susah. Harga-harga kebutuhan pokok kian membubung.

Mungkin karena, bahkan, Kalimantan yang pernah disebut sebagai hutan hujan terkaya di garis Khatulistiwa kini sudah nyaris tak punya hutan. Dan perusahaan baja Krakatau Steel di Cilegon nyaris menjadi satu-satunya aset negara yang belum diobral ke pihak asing, dan belakangan masih pula diniati untuk dijual.

Karena itu, mungkin, Nyiur Melambai jadi terdengar ironis.

***

Lalu saya berjumpa aktor Ray Sahetapi pada suatu acara ulang tahun di Kemang. Ia baru pulang dari lawatan keseniannya di Eropa. Soal Nyiur Melambai yang dilontarkan Herry Dim seperti menemukan sambungannya dalam obrolan saya dengan Ray.

“Lho, nyiur atau kelapa dalam lagu-lagu kebangsaan kita itu jangan dilihat cuma dari arti harafiahnya,” katanya. “Kelapa di situ bisa berkonotasi laki-laki. Lagu Nyiur Melambai itu laki-laki yang melambai. Lagu Rayuan Pulau Kelapa berarti rayuan laki-laki.”

Problem bangsa ini, lanjut Ray, adalah kurangnya pengertian para pemimpin akan falsafah kelapa. Bahwa kelapa itu kakinya sangat mengakar. Tinggi. Selalu di tapal batas (pantai). Berpandangan jauh. Melindungi, dalam arti jadi panjatan mana kala datang banjir.

“Kelapa juga simbol keberanian lelaki,” kata Ray, tentang pohon yang dijadikan simbol pramuka itu. Dan keberanian laki-laki inilah menurut Ray, faktor yang mesti dimiliki oleh siapapun yang bakal memimpin nusantara.

Perempuan bukannya tak penting. “Justru kekuatan itu terletak pada perempuan,” ujar Ray. “Perempuan itu simbolnya bambu. Kan pohonnya berlubang. Tapi ketika kita runcingkan, bambu bisa kita gunakan untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Kita pun memanggil para pemimpin ketika itu dengan ‘Bung’, dari ‘rebung”, anak-anak Bambu.”

Wah, seru ngobrol ma Ray.

***

Dari Ray saya juga baru tahu bahwa “tara” pada “nusantara” itu bisa kita artikan “air”. Lho, bukannya nusantara itu berasal dari “nusa” (pulau) dan “antara”? Jawab Ray diplomatis, “Ya, antara pula dan benua itu kan air.!?”

Maka obrolan dengan Ray Sahetapi yang nyambung dengan Herry Dim itu bisa saya sambungkan pula pada obrolan dengan penyair Rendra di Batu, Malang, beberapa pekan sebelumnya.

Menurut Rendra, kita kerap mengucapkan “Tanah Air” tapi tak tahu maknanya. Berkali-kali kita mengucapkan “Tanah Air” tapi kita tak tahu konsekuensi apa saja yang mesti dijalankan oleh bangsa yang mengaku ber-“Tanah Air” satu.

Selain mengetahui falsafah nyiur dan bambu, mestinya kita mengetahui pula bahwa “Tanah Air” mengandung ajaran budaya tanah dan budaya air. Kebudayaan tanah bangsa ini menurut Rendra sangat luar biasa. Kita bisa sangat adaptif dan cepat belajar, sehingga bisa cepat keluar dari masalah.

Kata Rendra, bangsa ini yang sampai abad ke-7 cuma akrab dengan seni pertanian menanam jewawut, segera mengenal irigasi dan padi serta beternak lembu yang diperkenalkan oleh Empu Maharkandia dari India Selatan.

Setelah itu, pada tahun 1200, kita sudah bisa membentuk perkebunan jambu dan nila. Lalu setelah Islam masuk, kita pun segera beradaptasi dan belajar mengolah tanaman baru seperti kedelai, ketan, wijen dan soga. Dengan cepat pula waktu itu kita belajar membuat minyak goreng, kerupuk, tahu, trasi, dendeng dan tempe.

Dalam budaya air, yaitu sungai dan laut, termasuk yang diperkenalkan oleh Purnawarman, kita mencatat banyak prestasi. Ditemukan berbagai tipe budi daya laut, perahu dan kapal bikinan nusantara. Termasuk juga tata hukum dan ketatanegaraan maritim sebagai alat politik untuk menyatukan nusantara.

Tanpa kesadaran akan akar budaya “tanah” (cepat beradaptasi dan belajar hal baru menyangkut pertanian) dan akar budaya “air” (memandang nusantara bukan saja sebagai negara kepulauan melainkan juga negara kelautan atau maritim), maka kita akan semakin terpuruk.

“Kita sebagai bangsa harus bersyukur kepada Perdana Menteri Juanda dan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja yang dengan gigih telah memperjuangkan kedaulatan maritim kita di dunia hukum internasional… Tapi sampai saat ini kita belum membentuk Sea and Coast Guard. Padahal ini persyaratan internasional agar bisa diakui bahwa kita bisa mengamankan lautan kita!” kata Rendra.

***

Lalu saya berjumpa Indra J. Piliang, seorang analis politik yang keras dan tajam. Saya pikir Indra akan bersemangat mengomentari carut-marut keadaan sosial kita hari ini, termasuk melambungnya harga-harga kebutuhan pokok…Lalu ia mencecarkan kritik ke sana-sini dengan pedas. Dugaan saya meleset.

“Saya pengin punya saung. Di atas sawah. Saya pergi ke mana-mana. Ketemu banyak orang dari berbagai latar. Pulang. Merenungkan perjalanan itu di saung. Pergi lagi…pulang lagi,” katanya.

(Dimuat di harian Sindo No. 91, tanggal 20 Juni 2008)