AREA 2011 - 2012

AREA 111 Hidup Laksana Kanvas …

4,527 Views

TejomusikKado perayaan, termasuk perayaan ulang tahun, bisa macem-macem wujudnya. Salah satu wajahnya adalah bingkisan gambar-gambar buat majalah area pas ultah.

Kota begitu pula. Malah perayaan kota bukan selagi ulang tahun saja. Ada peristiwa olahraga, seperti di Palembang, kota berhias. Ada kehadiran Ramadhan, Natal dan lain-lain kota berdandan. Orang-orang partai sibuk kongres, kota berbenah.

Paling mencolok dari sosok kota dalam mematut-matut diri adalah seni rupa. Entah itu grafiti, mural, poster, stiker, baliho dan lain-lain. Setidaknya sejak apa yang disebut “reformasi” 1998, tiang-tiang jalan layang dan dinding-dinding Ibukota dipenuhi kesenian. Senimannya kerap disebut bomber atau writer.      Saya ndak tahu gimana jelasnya ketentuan semua itu dalam peraturan daerah. Yang jelas, banyak coretan maupun lukisan di ruang publik Jakarta yang kian marak saat event Jak@rt 2001 dihapus. Tak sedikit para bomber diminta kembali mencat putih karya mereka.

Apakah dengan sirnanya seni rupa jalanan kemudian kota menjadi indah?

Wah, indah atau tidak perkara debatable. Ada teman yang menganggap indah segala hal yang tampak neat. Tapi banyak juga yang justru stres dengan segala kerapih-jalian. Apalagi kalau pasangannya setiap saat tak punya perbuatan lain kecuali beres-beres. Pusing juga lho melihat isteri/suami/kekasih yang tiap detik kerjanya beres-bereeeeees melulu agar ruangan menjadi neat.

Pada ruang kota, kekasih model begitu adalah Satpol PP. Entah berapa ribu dalam sehari mereka mencopot spanduk maupun baliho terutama reklame politik usai pemilu.

Padahal, seingat saya, sejak awal 1990 tinggal di Jakarta belum pernah pandangan mata saya ke lampu merah terhalangi oleh spanduk maupun baliho. Pembikin kacau pandangan ke lampu merah seringnya justru daun-daun dan ranting pohon yang tak dirapihkan oleh bagian pertamanan kota.

Ah, tentu saya setuju spanduk, baliho dan lain-lain ditertibkan Satpol PP.  Asal jelas abis itu semuanya tidak dibuang sia-sia. Menjadikan bahan-bahan bekas baliho sebagai tenda warung-warung pinggir jalan terkesan indah. Bener. Ketimbang membuangnya ke TPA Bantar Gebang dan lain-lain.

Setiap ada pemilu termasuk pemilukada, saya sering berdoa agar sudahlah pesta demokrasi itu cepat-cepat rampung sehingga kain-kain maupun vinil-vinil baliho gambar caleg dan cagub bisa cepat-cepat punya manfaat lebih nyata: Menjadi tenda warung-warung jalanan.

Kebalikan dari kisah baliho politik adalah kisah bendera Sang Saka Merah Putih. Dikisahkan bendera yang sudah dijahit oleh Ibu Fatmawati terlalu kecil untuk menjadi kebanggaan. Bu Fat ingin membikin lagi yang lebih besar, namun yang tersedia cuma kain putih bekas sprei.

Melihat itu Brigjen (Purn) Lukas Kustaryo putar-putar Jakarta. Ia mendapat kain merah bekas tenda tukang soto Madura. Jadilah bendera pusaka yang, karena kondisinya, tak dikibarkan lagi sejak 1969.

Tulisan ini tidak untuk membandingkan mana yang lebih terhormat: dari baliho pemilu menjadi tenda warung makan, atau dari tenda warung makan menjadi bendera pusaka.

Saya cuma ingin bilang bahwa kehidupan adalah kanvas. Asal menghapus segala rupa, termasuk meniadakan grafiti, mural dan lain-lain di ruang publik, sama saja dengan meniadakan warna-warni dalam kanvas kita bersama.