Wayang Durangpo Tahun III (2011 - 2012)

Episode 113 Pergiwa Pergi Mencari Bapak

5,480 Views

Episode113SELAIN perempuan, ia juga masih muda. Seorang dokter pula. Rambutnya kerap diekor kuda. Kacamatanya tipis, menambah kesan bangir hidungnya. Hmmm …. Di mata ponokawan Gareng-Petruk-Bagong: perempuan berparas ayu. Ahli kesehatan pula. Kulitnya kuning langsat dengan rambut hitam mengkilat. Kurang apa lagi?

Dokter Tika, demikian perempuan asal Kepanjen, Malang, itu kerap disapa, ditempatkan di perbatasan Indonesia- Malaysia. Orangnya penuh senyum dan pengabdian. Mungkin karena baru lulus kuliah. Masih kinyiskinyis spirit kejuangannya.

Saking sibuknya mengurus kesehatan warga, Dokter Tika sampai nggak tahu bahwa patok-patok perbatasan sudah digeser lebih masuk ke wilayah Indonesia. Tahu-tahu dokter yang masih
single itu sudah berada di wilayah Malaysia saja, tepatnya Sarawak.

Tadinya Dokter Tika serasa masih tinggal di tanah air sendiri. Maklum, wong pasien-pasiennya kebanyakan ngomong Indonesia. Logat orang-orang Sarawak kan kebanyakan memang bukan logat Melayu. Apalagi, kini ada pasiennya yang bernama wayang, Dewi Manohara. Pasti ini masih terhitung bangsa sendiri, di rumah sendiri pula.

***

 

“Mbak ini bukan Manohara yang itu, kan? Bukan orang Indonesia yang dulu pernah disilet-silet di Malaysia, kan?” Dokter Tika membuka percakapan di ruang praktiknya.

“Wah, meski wajah saya ada mirip, saya ndak punya nasib seperti Manohara yang itu, Dok,” Dewi Manohara tersipu-sipu. “Saya lain. Saya Dewi Manohara yang istri Raden Arjuna, Ksatria Pandawa ….”

Dokter Tika terhenyak. Kopi luwak yang diseruputnya nyaris tumpah ke blaser putihnya. Keningnya mengernyit heran, menambah keayuannya.

“Saya putri Begawan Sidikwacana di pertapaan Andongsumawi. Dari Raden Arjuna, kami mempunyai anak kembar, Pergiwa dan Pergiwati. Tahu sendiri kan, Dok, kebiasaan Raden Arjuna? Abis kumpul suami istri, dia pergi aja meninggalkan kami ….”

“Terus … terus … setelah anak-anak menjadi remaja, dua-duanya bingung mencari bapaknya?” Dokter Tika penasaran sembari membenarkan lengan blasernya.

“Betul, Dok. Mereka pergi mengembara, mencari di mana Raden Arjuna berada …. Saya sudah ngasih pengawal Cantrik Janaloka. Orangnya seperti Paman Gober. Saya percaya.Tapi, hati saya masih dag dig dug takut Pergiwa-Pergiwati kenapa-kenapa di perjalanan.”

Dewi Manohara menangis. Cukup lama. Ia sesenggukan sambil berkeluh kesah seolah-olah Dokter Tika adalah seorang psikolog juga.

Ndak enak sama pasien-pasien yang antre di luar, Dokter Tika membesar- besarkan hati Manohara. Lalu, secara halus memintanya kembali lagi besok-besok. Tapi, Dokter Tika curiga pada nama “Dewi Manohara”. Ia iseng meminta perempuan itu menunjukkan KTP. Ternyata, di situ memang tertulis nama “Dewi Manohara”. Tapi… Hah? KTP Malaysia?

Si ayu dokter muda sejak peristiwa itu baru sadar bahwa sekarang ia sudah berada di teritori Malaysia.

***

Kini ponokawan Gareng, Petruk dan Bagong mulai mudheng. Pantas semakin hari semakin banyak pasien bernama wayang. Rupanya warga Malaysia disarankan sebisa mungkin mengubah namanya menjadi nama wayang. Ada yang bernama Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Lenglengdanu, Dewi Gagarmayang, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, dan lain-lain.

“Mencaplok wayang jauh lebih berbahaya ketimbang mencaplok wilayah Camar Bulan,” pikir Dokter Tika sambil mengusap peluh di keningnya. Ia ingin marah. Ia ingin memberontak.Namun, apa daya. Para warga yang kini sudah menjadi warga Malaysia malah memanggil Dokter Tika dengan “Dokter Tiwi”, sebuah nama singkatan dari dunia wayang.

Dokter Tika kaget. Pas ia mengeluarkan KTP dari dompetnya, ternyata KTP-nya sudah KTP Malaysia. Nama lengkapnya adalah kepanjangan nama kecil yang dikenal penduduk: “Dokter Dewi Pertiwi”.

“Siapa yang membuatkan KTP Malaysia ini? Siapa yang memasukkan ke dalam dompetku?” batin Dokter Tiwi.

Sementara itu, kehidupan terus bergulir. Dewi Manohara tambah cemas ketika punya feeling bahwa Pergiwa-Pergiwati merambah sampai ke Indonesia dalam mencari bapaknya, Raden Arjuna. Berita gempa di Bali membuatnya kian berdebar-debar, takut kedua anak gadisnya ketiban plafon di Pulau Dewata itu. Soal kabar santer tentang tindak kriminal sedot pulsa di Indonesia tak terlalu mengkhawatirkan Dewi Manohara. Pergiwa-Pergiwati belum mengenal alam pulsa.

Tapi bagaimana kalau kedua perawan itu dihamili? Bukankah itu juga rasa was-was semua orangtua saat ini, sehingga di Jawa Timur lagu Hamil Duluan sampai dilarang diputar di radio-radio?

***

Sebetulnya, di manakah Pergiwa-Pergiwati kini berada?

Setelah terunta-lunta dari Karangpoh ke Tandes, Surabaya, keduanya lolos dari kebakaran hutan di Semeru dan kebakaran hektaran Hutan Pinus di Panderman. Ia pun lolos ketika akan digagahi oleh Janaloka, cantrik pengawal yang ternyata justru pagar makan tanaman. Tapi kenapa Manohara datang lagi ke Dokter Tiwi dengan tangis yang lebih kuat?

“Sudahlah, Manohara,” bujuk Dokter Tiwi. “Jangan cemaskan petualangan anak-anakmu di Indonesia. Yakinlah bahwa orang Indonesia masih percaya kepada kebaikan dan kejujuran ….”

“Oh, saya yakin, Dokter. Saya yakin orang Indonesia masih percaya kepada kebaikan dan kejujuran. Tapi saya nggak yakin mereka percaya bahwa kebaikan dan kejujuran bisa mereka jadikan jalan untuk mencapai cita-cita…. Makanya saya tetap khawatir keselamatan Pergiwa-Pergiwati. Koruptor yang lebih jahat dari pemerkosa banyak yang divonis bebas oleh pengadilan di sana. Berarti tak mustahil pengadilan akan memutus bebas para pemerkosa juga, Dokter.”

Dokter Dewi Pertiwi menangis. Kini Dewi Manohara menangis berdua. Angin dari Kalimantan menyepoi seakan menjadi saksi isak keduanya. Lalu ponokawan menyerahkan telepon ke Dokter Tiwi. Panggilan penting urusan reshuffle kabinet di Jakarta.

“Oh, iya …. Wah, kehormatan ditelepon oleh Bapak langsung…. Aduh…. Tapi maaf tak bisa menerima tawaran jadi menteri urusan perbatasan. Masalahnya paspor dan KTP saya sekarang sudah paspor dan KTP Malaysia …. Iya …. Ndak usah bingung Pak. Cukup saya saja yang bingung, Pak. Iya, Pak. Baik, Pak. Hah? Halo? Bukan, Pak. Saya Dokter Tiwi, Pak … bukan Ibu Nunun ….”

“Oh, maaf, maaf…. Salah sambung, Bu ….”