AREA 2011 - 2012

AREA 117 Sesama di Balik Jeruji Bui

4,478 Views

TejomusikAkhir tahun lalu saya shooting film di Jakarta Utara bareng Roy Marten, aktor yang pernah dipidana penyalahgunaan Narkoba.

Orangnya masih seramah yang dulu saya kenal. Hampir semua orang yang nyamperin dia disambutnya ramah. Termasuk mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang memintanya foto duaan.

“Harta kita yang baru terasa berharga setelah hilang adalah kebebasan,” kata wong Salatiga ini. “Di dalam penjara terasa sekali harga kebebasan itu.”

Mas Roy benar. Berapa lama kita bertahan di semewah apa pun kamar hotel? Praktis hanya pas tidur. Punya duit lebih, kita minta kamar dengan teras atau balkon. Semata-mata karena kita cepat bosan di dalam ruangan.      Teras atau balkon pun lekas menjemukan. Kita ingin duduk-duduk di lobi hotel atau di kafenya. Jika tak berkenalan dengan orang-orang baru, setidaknya kita sudah dapat memandang-mandang orang dengan berbagai logat bahasa dan pakaian.

Ah, itu pun bikin lekas suntuk.

Kita tinggalkan hotel. Ke pantai, ke taman kota …pakai taksi. Bosan pakai taksi numpang bus, atau memilih kereta.

Itulah orang bebas.

Mungkin kebebasan yang dimaksud Roy Marten laksana kesehatan. Kita baru ngeh adanya setelah tiada. Jangankan dilanda penyakit gawat. Kena flu saja badan terasa lemas. Ngangkat gelas pun jadi terasa berat.

Sama. Sekesal apa pun terhadap koruptor pas persidangan, selalu sedih ketika vonis telah jatuh dan saya tonton mereka digiring ke penjara.

Terbayang tak dapat lagi mereka jalan-jalan pagi di kawasan olahraga paling favorit seperti Gelora Bung Karno. Memandang anak kecil sampai kakek-nenek ceria sambil membugarkan tubuh.

Tak dapat lagi mereka nikmati menu berbagai negara seperti masakan Italia dan Jepang di Jakarta. Sebut Ti Amo, La Tour d’Ebaya, Poste, Magenta, Canteen, Decanter, Capoccacia, Segarra dan tempat-tempat favorit lainnya.

Tentu, selain menu makanan dan wine, di sana terasa juga sensasi interior dan pemandangan kota Jakarta malam hari dari atas gedung, dari jendela restoran. Dan tentu juga musik termasuk denting piano…

Jangan tidak tahu, Miranda S. Goeltom yang baru ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi itu pemain piano yang baik lho. Jika kelak vonis hakim menetapkannya sebagai narapidana, walah, di mana kolektor lukisan ini bakal memencet tuts-tuts ebony and ivory dalam interior kebebasan yang romantis pula?

Atau mungkin saya keliru. Bisa juga kebebasan itu sejatinya malah penjara.

Di rumah misalnya, saya mempunyai tempat favorit untuk menulis termasuk untuk area. Sudah bertahun-tahun. Kalau ndak di situ, ide rasanya tak keluar.

Mungkin di metropolitan yang luas ini pun sampeyan mempunyai tempat favorit pula yang kalau tak di situ, rasanya ndak sip.

Artinya kita sudah kecanduan. Dan setiap kecanduan atau ketergantungan bukankah ketidakbebasan?

Jangan salah…Dilihat dari dalam penjara, secara relatif kita justru orang-orang yang berada di balik jeruji yang tak punya kemerdekaan. Orang-orang di dalam bui terbukti banyak yang malah mampu menulis buku, melukis. Kebebasan seperti yang tercermin dalam keliaran imajinasi lukisan para narapidana sering sangat mencengangkan.