AREA 2007 - 2008

Fashion ‘kan Cuma Soal Kontras

3,339 Views

Setiap kali bicara fashion, kenangan saya sering seketika nempel pada Ibu Sawitri. Almarhumah adalah penari tradisional gaya Cirebon yang kerap tampil diundang banyak pihak di manca negara.

Mungkin karena dalam pertemuan pertama saya dengan beliau di Kota Udang itu, sepuluh tahunan lampau, ada perancang busana Samuel Wattimena. Insan fashion ini tertarik akan tari dan motif kostum orang “Cerbon”.

Tapi mungkin pula, fashion selalu menggotong saya ke almarhumah Sawitri karena, bagi saya, tari tradisional Cirebon-lah contoh paling bagus dalam mengajarkan kontras yang bisa dikaitkan dengan fashion.

Lihatlah Ibu Sawitri! Di tengah gemuruh gamelan yang berdentangan, lengkap dengan meriahnya pukulan perkusi kulit, Ibu Sawitri tidak melakukan action yang gemuruh dan gegap-gempita. Ah, ia cuma mengalir, mengalun bahkan kadang diam saja seraya menggerak-gerakkan kecil jemari tangannya.

Hubungannya dengan fashion hari ini…Bukankah kinilah zaman yang paling resek menuntut setiap orang untuk sanggup menerima rasa kontras?

Bukankah kini tumbuh aneka produk makanan-makanan ringan dari berbagai negara, satu hal yang belum pernah sesemarak ini pada masa-masa sebelumnya? Tapi, kontrasnya, pada saat yang sama seluruh manusia termasuk laki-laki dituntut oleh fashion untuk diet? Bukankah kinilah era ketika tumbuh berbagai restoran lengkap dengan acara wisata kuliner di televisi? Namun seribu sayang, secara kontradiktif perempuan termasuk lelaki mesti kurus demi fashion?

Kalau diambil positifnya, kontras abad ini, yaitu kontras antara jor-joran makanan dan keharusan langsing, ya membuat orang merasa harus berolah raga. Jadi banyaknya makanan tak membuatnya tambun. Karena itu fitness center tumbuh di mana-mana. Dan binaragawan Ade Rai baru saja dinobatkan termasuk dalam 100 pengusaha muda sukses, yang bergerak di bidang kebugaran.

Kalau diambil negatifnya, keharusan menerima rasa kontras ini bisa membuat orang stress. Karena, akibat terpengaruh “Barat”, sekolah dan televisi pada umumnya jarang mengajarkan rasa kontras. “Barat” memang kurang mengajarkan kontras.

Dari segi lagu saja misalnya, kita tidak pernah diajari rasa kontras. Karena beat, ritme dan melodi diatonis “Barat” memang secara umum cuma bisa mengusung satu perasaan saja. Romantis saja. Atau riang saja. Atau cuma melankolis. Ndak bisa rasa gado-gado.

Nah kesenian tradisional di Nusantara, tidak harus Jawa, yang dasar melodinya pentatonis dan beat serta ritme-nya punya tata cara sendiri, umumnya bisa menyampaikan suasana kontras: romantis tapi marah, sedih tapi optimistis, kangen tapi benci campur-campur ngamuk, dan sebagainya.

Gini aja deh. Gampangnya, gado-gado itu adalah makanan yang cuma ada di Nusantara. Dan bagi saya, kemampuan menerima rasa campur-aduk alias gado-gado yang kian diperlukan buat menghadapi zaman yang serba kontras ini, hanya bisa diperoleh dari mengapresiasi kesenian tradisional.

Dengan itu kita tak kaget-kaget melihat wuuuaaah ragam makanan tapi harus kurus. Sama halnya kita tak kaget melihat globalisasi yang dilawan dengan ekspresi lokal. Tak kaget pula kita lihat pemusatan Jakarta yang dilawan dengan tuntutan otonomi daerah termasuk pemekaran propinsi dan kabupaten.

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA edisi No. 85, tanggal 18 April 2007)