AREA 2007 - 2008

Ini Soal Bayi lho, Bayi…Bayi

3,561 Views

Program televisi Mamamia sukar terbayang ada di masa rata-rata orang masih biasa banyak anak. Dengan umumnya ada 6 sampai 9 anak, belum termasuk yang gugur, para orangtua terutama kaum ibu tak punya banyak waktu buat masing-masing anak.

Orangtua tak memiliki cukup waktu baik untuk sungguh-sungguh dekat dengan setiap anak, maupun bersandirawa seolah-olah dekat. Tak banyak punya kesempatan buat bersandiwara betapa dekatnya dengan anak dalam berbagai adegan maupun episode keseharian hidup.

Orangtua tak punya luasa waktu untuk akting mengambil rapor dan sering datang ke sekolah anaknya. Apalagi berseni peran seakan-akan akrab anak melalui program nyanyi bareng anak dan meluk-meluk anak di depan jutaan pemirsa televisi.

Saya dan sebagian pembaca Area yang berusia di atas kepala 4, termasuk Dian HP yang memusiki Mamamia Indosiar, pasti termasuk generasi yang orangtuanya tak pernah menginjak halaman sekolah. Mungkin juga tak paham kita sekolah di SD mana dan di mana alamatnya. Rapor ya kita ambil-ambil sendiri. Persoalan dengan sekolah ya kita hadap-hadapi sendiri. Tak terasa ada itu POMG-POMG-an (Persatuan Orangtua Murid dan Guru).

Kini mungkin orang-orang udah pengin punya banyak anak lagi. Barangkali mereka berpikir dengan lebih dua anak, mereka tak perlu terlalu protektif. Mati satu tak tinggal satu. Mati dua tak berarti punah.

Dengan makin banyak anak, mereka akan makin meliarkan anak-anak. Tak perlu khawatir anak jatuh dari ojek. Tak perlu cemas anak tergores dalam bis kota. Tak perlu was-was anak gugur dalam tawuran pertandingan bola.

Anak-anak akan mandiri, tangguh dan gigih. Selebihnya nekad alias bonek. Keempat hal ini sangat diperlukan buat menghadapi berbagai persaingan, termasuk persaingan kerja, lebih-lebih ketika pekerja asing mulai tambah bermasukan.

Kenapa saya menduga-duga kayak gitu, karena kini Keluarga Berencana yang mulai turun pamor sejak 1998 akan dibangkitkan lagi. Berarti akan kembali dicanangkan prinsip “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.

Sela sebentar…Suatu sore pekan lalu saya dipanggil Menteri Kesehatan Bu Siti Fadilah Supari di kediaman dinasnya di Jakarta. Saya didongengi banyak hal termasuk perjuangannya menghentikan 60 tahun dominasi dan permainan bisnis kotor WHO antara lain dalam kasus flu burung.

Bukan itu inti yang akan saya sampaikan di sini. Intinya, di Jalan Denpasar Raya itu saya kuat berkesimpulan bahwa agenda negara-negara “Barat” untuk mengurangi penduduk dunia melalui flu burung tidak berhasil.

KB sendiri, yang dicanangkan mulai 1970 pada era Soeharto, yang jauh lebih bermartabat ketimbang pengurangan warga dunia melalui flu burung, juga “bocor” di sana-sini. Mari kita baca angka tahun 2007. Dari 2,3 juta aborsi di Indonesia, lebih setengahnya merupakan pengguguran karena kegagalan program KB.

Bagaimana kalau nanti film Silent Scream tahun 2007 makin banyak ditonton para dokter? Kabarnya film berteknologi ultrasonografi tentang derita janin ketika diaborsi ini membuat dokter-dokter ndak tega lagi membantu aborsi.

Tapi program pengurangan penduduk tak cuma berhadapan dengan dokter yang tak tegaan lagi. Dia akan berhadapan juga dengan tumbuhnya paradigma baru bahwa penduduk, sepanjang dikelola benar dan tepat, bukan beban malah potensi kerja dan potensi pertahanan yang tiada tara.

Itu belum apa-apa. Lebih gawat lagi berhadapan dengan perempuan yang seneng bayi. Bilang kayak temen saya Ayu Azhari dan Titi DJ. Ndak tahu kalau sampeyan ya? Kalau saya sih seneng bayi, apalagi ibunya bayi…

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 24, tanggal 12 Februari 2008)