Sindo

Pak Harto, Sultan dan Dongeng Sebelum Tidur

3,200 Views

Sejak tahun 80-an telah muncul keluhan tentang kian memudarnya kebiasaan mendongeng. Artinya sudah nyaris dua dasawarsa sebelum Pak Harto keluar masuk rumah sakit dan mestinya juga bisa dijadikan bahan dongengan.

Satu pihak menganggap makin lenyapnya sastra tutur rumah tangga ini tak perlu dirisaukan. Anak memang kurang didongengi oleh orang tuanya menjelang bobo. Tapi mereka sudah melahap begitu banyak alkisah dari sumber-sumber lain.

Anak-anak membaca komik, cerita bergambar baik terbitan luar dan dalam negeri seperti yang disusun Dr. Murti Bunanta, pemerhati cerita-cerita tradisional. Mereka juga sudah menonton aneka kartun di televisi.

Pihak yang mencemaskan tergerusnya tradisi bercerita secara intim di tempat tidur juga punya dasar. Katanya, semua media itu tak bisa menggantikan dongeng yang disampaikan intim dan lebih bersifat pribadi antarorang yang saling mengasihi.

Di dalam dongeng, anak mendapatkan suara pendongengnya. Entah ibu, ayah atau kakak. Anak juga mendapatkan sentuhan dan belaian.

Lebih daripada itu. Di dalam dongeng, plot maupun ending cerita sangat tergantung pada pertanyaan-pertanyaan maupun celetukan-celetukan anak.

Kemampuan berimprovisasi pendongengnya, yang secara alami dan potensial sebenarnya telah dipunyai setiap orang, sangat dituntut di dalam sastra tutur terutama dongeng terhadap anak. Maklum, celetukan anak, selaan, pemotongan maupun pertanyaannya sering kali tak terduga dan sangat liar.

Benih-benih keakraban antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya dengan begitu bisa ditabur melalui dialog dari improvisasi orang dewasa dan kepolosan sekaligus kecerdasan anak.

***

Sekarang Pak Harto makin keluar masuk rumah sakit. Pemilahan komentar orang tentang Pak Harto masih konsisten sama dengan tahun-tahun Pak Harto lengser di 1998. Yaitu ampuni beliau. Dan yang lain, tetap adili beliau.

Heidlar Fazel misalnya, bintang iklan dan sinetron, bilang buat tulisan ini agar keadilan dan hukum tetap ditegakkan terhadap kasus Pak Harto.

Katanya, “Kalau ada yang beranggapan ‘Ya sudahlah, gak usah terlalu dipermasalahkan, toh ingat dong, dia kan pernah berbuat baik sama kita atau negara ini’, harus diingatkan. Bahwa bukan berarti orang yang sudah berbuat baik boleh berbuat salah.”

Bisa juga ibu-ibu terlibat dalam perdebatan itu. Saya tidak ingin campur persoalan itu. Saya cuma pengin usul, bagaimana kalau cobaan yang menimpa Pak Harto dan keluarganya ini kita jadikan inspirasi untuk mendongeng.

Dongeng pertama soal bagaimana mengadili orang besar namun tetap kita hormati. Alkisah Adipati Karno, senior mirip jenderal besar dari keluarga Pandawa dalam pewayangan dinilai bersalah karena memihak musuh yakni Kurawa.

Ksatria Gatutkaca, anak Bima, dari keluarga Pandawa diminta oleh Kresna untuk mengadili Adipati Karno secara ksatria, yaitu pertempuran habis-habisan di kancah Baratayuda.

Ternyata Gatutkaca yang pernah jadi simbol pesawat IPTN tak balik kanan. Ia tetap merangsek ke medan laga menghadapi si Om, Pak De alias Pak Tuanya, Karno.

Yang menarik dan senantiasa tak pernah saya lupakan adalah, betapa setiap kali menjelang menghantam Karno, Gatutkaca selalu menyembah terlebih dahulu. Artinya, hormat tetaplah ada.

Sebagai orang yang dituakan, apalagi masih terhitung Pak De sendiri, apalagi pernah berjasa buat Pandawa yakni hanya senjata sakti Karno yang dulu bisa memotong tali pusat jabang Tutuka, nama Gatutkaca ketika bayi, Gatutkaca menyembahnya. Tapi demi tugas negara, dia hantam itu secara ksatria.

Kalau anak ibu tiba-tiba nyeletuk bebas, Gatutkaca partainya apa. Improv aja, bilang pokoknya bukan Golkar. Karena Ketua Fraksi Golkar Mas Priyo Budi Santoso minta agar kasus pengadilan Pak Harto ditutup saja.

***

Dongeng yang lain mungkin tentang kerajaan-kerajaan. Bahwa konon runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit antara lain diawali oleh pengiriman warga negara untuk belajar di luar negeri. Waktu itu India dikisahkan banyak membangun asrama untuk menampung dan mensponsori mahasiswa asing.

Sepulang dari India, Mesir dan lain-lain, para mahasiswa itu memang membawa keahlian teknis suatu bidang. Namun, mereka tanpa sadar juga membawa hal lain yaitu “paham”. Dulu “paham” itu agama.

Sekarang “paham” itu demokrasi. Seolah-olah cuma “demokrasi”-lah yang bisa menuntaskan problem Indonesia. Orang lupa bahwa demokrasi cuma bisa sukses di negara yang para warganya petualang dan pendatang.

Orang lupa bahwa negara-negara besar sekarang ini bentuknya adalah kerajaan maupun kekaisaran yang tata administrasinya diatur perdana menteri.

Bolak-balik para akademisi didikan luar negeri bikin analisa negatif kenapa kok pada akhirnya Bung Karno dan Pak Harto totaliter. Seperti tak ada satupun yang mulai curiga. Misalnya, jangan-jangan orang sebesar Bung Karno dan Pak Harto, sudah punya firasat bahwa negeri ini gak bisa dan akan terus bertele-tele jika gak digerakkan oleh tangan besi.

Sri Sultan Hamengku Buwono X dinobatkan oleh pembaca harian Seputar Indonesia sebagai salah satu People of the Year 2007. Ada yang melihat ini pertanda bangkitnya demokrasi, karena demi demokrasi HB X rela meletakkan jabatan temurun darah birunya sebagai gubernur di Yogya.

Saya melihat lain. Inilah bentuk pengeroposan kepercayaan kita pada takhayul demokrasi. Inilah bentuk kekangenan kita diam-diam pada sistem kerajaan.

…Ambilkan bulan, Bu, ambilkan bulan, Bu….(syair dari AT Mahmud).

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 11 Januari 2008)