Sindo

Tempe Raib, Siap-siap Kanker Payudara

2,926 Views

Saya sudah lupa persisnya negara mana yang pernah coba-coba bertepuk dada bahwa tempe adalah hak patennya. Entah Malaysia. Entah Jepang. Yang pasti pembuat tempe kita sebagian mogok, sebagian bete, sebagian lagi bagai orang ngunyah permen karet: nyebelin dan nggak jelas ekspresinya.

Mungkin tempe baru muncul lagi di pasaran setelah kita disuplai kedelai oleh Malaysia atau entah siapa. Tapi itu berarti, jangan-jangan memang benar bahwa bukan kita pemegang paten makanan yang lebih bergizi ketimbang tahu ini.

Padahal saya masih lebih senang menyangka bahwa tempe itu khas Indonesia. Sebagai ciri khas, ia pun banyak ragamnya di berbagai daerah. Tempe goreng di kaki-kaki lima di Sala beda rasanya dibanding tempe yang dikeripikkan oleh orang-orang Malang.

Sambal goreng tempe bikinan Banyuwangi khususnya daerah Jajag dan Rogojampi, beda rasanya dengan sambal goreng tempe ala orang-orang Sidoarjo. Lain tempe penyet orang Sunda lain pula tempe penyet versi Magelang khususnya kawasan Muntilan. Wah, orang-orang Sumenep tampil beda lagi dalam ragam tempe penyet-nya.

Belakangan saya malah menduga, temuan tempe lebih jenius ketimbang gudeg. Sayur nangka muda ini konon ditemukan sebagai cara orang Arsipelago ini mengatasi pengin makan daging, tapi daging mahal di masa kolonial. Gizinya tentu tak setinggi daging.

Tempe yang akhir-akhir ini harganya mencapai Rp 5.000-an lebih per potong dari Rp 2000-an tahun lalu, mungkin juga ditemukan untuk mengatasi pengin makan bergizi kayak penjajah meskipun apa daya fulus nggak ada. Tapi banyak ahli bilang gizi tempe itu sendiri cukup tinggi.

Di antara dugaan tempe khas kita dan dugaan kejeniusan penemuan tempe, belakangan saya juga kerap menduga jangan-jangan orang Nusantara-lah yang mengilhami filsuf besar Perancis Rene Descartes sampai dia bilang cogito ergo sum, aku berpikir dan karena itu aku ada.

Ringkas dan populernya aliran filsafat Descartes itu antara lain begini. Yang membikin suamimu baik dan ganteng, bukan kelakuan maupun wajahnya, tapi karena kau berpikir bahwa suami kau baik dan karena kau berpikir bahwa suami kau ganteng.

Nah, ibu-ibu, orang-orang Nusantara tak cuma ngomong kayak para filsuf itu. Kami sudah menerapkan lebih dulu. Kami makan gudeg, tapi kami berpikir bahwa kami sedang makan daging. Kami makan tempe, tapi kami berpikir bahwa sesungguhnyalah kami sedang makan roti dan keju.

Syukur-syukur kemudian ditemukan bahwa serat tempe bisa mengatasi diare.

***

Apa manfaat jika tempe terus ada nggak putus-putus? Ya itu tadi. Pertama, keajekan eksistensi tempe akan menjadi kampanye ke dunia bahwa tempe memang kita punya. Patennya ada di kita. Legal atau tidak.

Kedua, pelajaran gratis cogito ergo sum ke masyarakat bahwa fakta tergantung pada cara kita berpikir tentang fakta itu. Bila kita berpikir alam bisa marah lebih-lebih kerjaannya cuma marah-marah, maka longsor di Sala Raya kita sebut “bencana alam” seperti selama ini.

Ada orang lain yang nggak mikir kayak gitu. Menurutnya alam sayang manusia. Alam hanya berusaha mencari keseimbangan baru setelah keseimbangannya pada keadaan semula diusik, diganggu secara sewenang-wenang oleh manusia. Ketika alam berusaha mencari keseimbangan baru berupa longsor dan lain-lain, ya orang ini menyebutnya “bencana (akibat ulah) manusia”, bukan “bencana alam”.

Polah tingkah dan perlakuan kita terhadap alam pun akan lain jika kita berpikir bahwa kebakaran hutan, banjir dan sebagainya itu “bencana (akibat ulah) manusia”, bukan “bencana alam”.

Begitu juga, tokoh ibu yang sejatinya nggak punya anak tapi ingin punya anak dan berpikir bahwa dia sudah punya anak, juga lain. Lain dibanding ibu yang sudah nggak punya anak eh tapi juga berpikir bahwa dia memang nggak dikaruniai anak. Dalam HBO movie 1999, aktris kahot Susan Sarandon sangat bagus memerankan tipe pertama itu.

***

Ternyata kasus tempe malah lebih baik ketimbang kasus perempuan ndak punya anak, tapi berpikir punya anak yang diperankan Susan Sarandon itu. Sampai ending cerita, perempuan itu faktanya tidak punya anak.

Ini sebelum ending, karena menurut Deddy Mizwar kiamat sudah dekat, tempe yang semula dibayangkan kayak daging, keju dan roti, malah ditemukan punya “kandungan daging”. Ingat, kedelai sering jadi pengganti daging pada burger dan hotdog.

Tempe yang kini tersebar di Barat melalui Belanda tahun 40-an (ada 20-an perusahaan tempe di Eropa, 60-an di Amerika), belum lagi di Australia dan Afrika dan sudah tentu di Asia sendiri macam Cina, India, Taiwan, Sri Langka, Jepang, ditemukan pula sebagai obat awet muda dan penangkal kanker payudara.

Udah tahu gicu, kenapa Indonesia masih jadi importir terbesar kedelai di dunia? Kok gak nanem sendiri? “Mungkin karena kurang efisien,” kata Olga Lidya, model, presenter dan pewawancara. “Nggak ada penemuan-penemuan baru untuk membuat lahan 1 hektar bisa menghasilkan kedelai yang banyak. Jadi petani mau nanem kedelai.”

Atau gini ya, Olga, kita main optimistis aja deh. Mungkin karena government yakin banget ke depan nanti kita akan makin makmur. Tak ada lagi kelaparan. Karena itu government tak pandang perlu tempe buat masyarakat. Karena salah satu khasiat tempe seperti diterapkan pada zaman penjajahan Jepang, adalah mengatasi disentri dan busung lapar.

(Dimuat di harian Sindo, tanggal 18 Januari 2008)