AREA 2007 - 2008

Special Dating di Kota Tua

3,491 Views

Dua tahun lalu saya shooting film di Semarang. Sutradaranya Joko Anwar. Ternyata di kota itu saya bertemu tiga empatan kelompok lain yang juga sedang bikin film dengan setting Jakarta.

Mungkin saking sukarnya mencari bangunan bersejarah di Jakarta. Program revitalisasi kota tua di Jakarta sudah dicanangkan sejak Gubernur Ali Sadikin yang menjabat 1966-1977, tapi hasilnya belum seperti harapan banyak pihak.

Rentetan gubernur berikutnya sampai Fauzi Bowo kini juga dianggap belum bisa membuat Kota Tua Jakarta kembali Indah. Padahal, kabarnya, setiap tahun DPRD DKI Jakarta menganggarkan pos dana untuk penataan Kota Tua. Masyarakat juga tak sedikit yang peduli buat bantu-bantu government.

Sebut antara lain anggota DPRD Hj. Syamsidar Siregar. Ada juga Ella Ubaidi yang tergabung dalam Batavia Advancement Committee. Dan kalau saya tak salah, tokoh perbankan Miranda Goeltom pernah nemuin Sutiyoso di Balai Kota buat pencanangan kawasan wisata Kota Tua, tepatnya sepanjang Harmoni-Kota dan area Sunda Kelapa.

Oh, tapi Jakarta tak sendirian dalam hal pengabaian sejarah. Misalnya Jalan Pasteur Bandung, kawasan Rumah Sakit Hasan Sadikin, yang penuh bangunan tua dan pohon-pohon palem mengasrikan kiri-kanan jalannya, kini jadi semrawut lantaran lintasan tol dalam kota.

Jalan Ijen, Malang, masih hijau dan damai oleh boulevard petamanan dan barisan palem. Tapi acara tahunan di kawasan itu, sebut saja Malam Tempo Doeloe, yang tertutup buat kendaraan, yang para pejalan kakinya “diwajibkan” berpakaian ala dulu berikut ala dulunya jajan dan penganan yang dijual sepanjang jalan, kini mulai merosot pamornya.

Kembali ke soal Oud Batavia (Kota Tua Jakarta), saya jadi teringat Museum Bank Mandiri dekat Stasiun Kota, yang dulunya tahun 1933 adalah gedung Nederlandsche Handel Maatshappij.

Lorong-lorong dan mungkin bunker-bunker gedung bergaya art deco ini menarik. Sayangnya bukan wisata sejarah yang ditawarkan, tapi sebutlah wisata horor tengah malam, karena banyak pihak percaya lokasi ini buanyak banget hantunya.

Bagi saya, kalau pembangunan Oud Batavia belum kesampaian juga, setidaknya sudah cukup menolong jika SD-SD di Jakarta mengajarkan hubungan Ciledug dan Kuningan di Cirebon dengan Ciledug dan Kuningan di Jakarta.

Siapa tahu ada hubungannya dengan orang-orang Cirebon yang kebawa pasukan Sultan Agung ketika menyerbu Batavia. Toh, konon, maraknya warung-warung Tegal di Jakarta juga karena Sultan Agung dulu membawa orang-orang Tegal dalam penyerbuan Batavia sebagai penanggung-jawab dapur umum.

Menarik jika kesadaran sejarah itu dibangkitkan sejak SD buat warga Jakarta. Dan jauh lebih penting ketimbang 216 bangunan bersejarah serta 132 titik historis yang meliputi 139 hektar di Jakarta, menurut saya adalah Monumen alias Tugu Proklamasi.

Sudah lama saya curiga patung Soekarno-Hatta di situ tidak benar-benar terletak di titik sang Dwi Tunggal memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pekan lalu, ketika lewat Jalan Bonang sekitar monumen, seorang warga setempat ternyata juga menyangsikan letak patung kini sebagai Pegangsaan Timur no. 56 tahun 1945.

Wah, kebayang jika monumen itu digeser sedikit ke titik yang paling bersejarah. Betapa “sakral” dan “bersejarah”-nya. Lantas seluruh pelantikan pejabat di Jakarta termasuk presiden dilakukan di situ. Kalau perlu, fit and proper test buat calon-calon pejabat juga dilakukan di situ.

Wauw….

(Dimuat di rubrik ‘Frankly Speaking’ AREA 25, tanggal 14 Februari 2008)