Sindo

Zaki, Sakazakii, Zakiyah…Zakiyah…

3,684 Views

Namanya Muzaki. Panggilannya Zaki.

Ini soal orang Madura, suku yang amat berjasa pada Ibu-ibu pas para pembantu rumah tangga berpulangan di Idul Fitri. Ibu-ibu yang capek masak bisa beli sate keliling reng Medure. Tradisi Pulau Garam lebih memeriahkan Idul Adha. Waktu Hari Raya Kurban itulah mereka mudik.

Kenapa mudiknya gak pas Hari Raya Idul Fitri seperti saudara-saudara kita lainnya? Wah itu saya ndak ngerti. Mungkin karena orang-orang di pulau timur Surabaya itu punya pikiran yang khas seperti orang Batak juga. Kalau tidak khas, mana mungkin mereka bisa jadi sumber dan sarang anekdot di Tanah Air.

Yang paling mutakhir saya dengar adalah anekdot orang Madura menyangkut lampu merah. Polisi marah-marah karena dokar (delman) Pak Zaki menerobos lampu merah.

“Lampu lalu lintas itu kalau merah artinya stop. Kamu punya otak gak sih? Punya hati?”

“Dalam hati saya tahu, Pak Polisi. Tapi hati kuda siapa yang tahu!”

Hari berikutnya pedelman yang sama kembali menerobos lampu merah. Polisi yang sama kembali mencak-mencak. “Kan kemarin saya bilang lampu lalu lintas itu kalau merah artinya stop,” dampratnya. “Hayo, jawab lagi hati kuda siapa yang tahu.”

“Bukan begitu, Pak. Kemarin itu langsung saya didik kok kuda ini. Tapi saya cuma minta keadilan. Tadi saya lihat Pak Polisi diem saja ketika anak saya, Brodin, menerobos lampu merah.”

Keesokan harinya, pas lampu hijau, delman yang sama itu justru stop. Polisi marah-marah karena delman Pak Zaki mulai bikin macet.

Pak Zaki tak mau kalah, “Kalau di sini hijau Pak Polisi, berarti di sana (menunjuk jalan lain) kan merah. Waduh gawat, Pak. Kalau dari sana si Brodin anak saya lewat kan bisa tabrakan Pak?”

Dari seabrek anekdot tentang orang Madura itu kira-kira saya bisa memahami mengapa para pengungsi banjir di Kabupaten Situbondo marah tapi sekaligus geli pada orang Madura.

Begini, ketika banjir bandang melanda kampung halaman saya di Jawa Timur itu, sebagian pengungsi termasuk kakak saya, tinggal di suatu losmen berlantai dua. Datanglah pengungsi tambahan. Reng Medure. Naiklah orang ini ke lantai dua sesapi-sapinya.

Meski bau badan sapi, pengungsi lain masih bisa terima. Namun tidak ketika si sapi ini mulai berak. Pengungsi lain sewot. Mereka minta Pak Sapi ini membiarkan sapinya hanyut.

Beeeeh de’ remma (aduh bagaimana),” kata Pak Sapi dalam logat Madura, “Minggu lalu sapi saya ini sudah ditawar sepuluh juta!”

Pengungsi lain marah tapi sekaligus menahan geli. Lantas banjir surut. Pengungsi pulang. Sapi juga. Eh, banjir susulan kembali datang. Pengungsi balik ke lantai dua losmen itu. Mereka lega, sudah tak ada sapi. Namun beberapa jam kemudian hadir kembalilah si sapi.

***

Dari kebiasaan orang Madura, dan juga Batak, sebenarnya saya sedang mengusulkan kepada kita semua untuk sudi menyisakan sifat humor dalam menghadapi kesulitan apapun. Jangan sampai kehumoran itu lenyap. Dan kita melulu serius menyongsong seluruh problem.

Angka kemiskinan di Indonesia banyak diperdebatkan. Presiden SBY menilai beberapa pihak, mungkin Jenderal (Purn) Wiranto, terlalu mendramatisir keadaan. Mestinya, menurut SBY, yang kita pakai adalah standar layak hidup minimal versi lembaga resmi Indonesia. Kalau pakai ukuran Bank Dunia, yang standarnya lebih tinggi, jumlah penduduk miskin memang jauh lebih besar.

Jadi mana yang betul? Presiden SBY apa Pak Wiranto?

Pikiran humor tidak akan terlalu ingin masuk dalam perdebatan itu. Pikiran humor akan bisa memunculkan banyak jawaban, yang mungkin berguna dan mungkin tidak. Namun, setidaknya akan bisa membantu kita mengatasi stres.

Dengan pikiran humor, kita bisa lihat baik Presiden SBY dan Pak Wiranto keliru. Di Indonesia tidak ada orang miskin lagi. Buktinya wisata boga di televisi macam acara Mas Bondan Winarno makin marak. Masyarakat makin punya banyak duit untuk mencari tempat-tempat makan yang infonya bisa mereka peroleh dari wisata boga televisi. Kan televisi tidak mungkin mempertahankan acara itu kalau rating-nya rendah alias kurang penonton.

Dengan pikiran humor, kita juga bisa lihat baik Pak Wiranto maupun Pak SBY keliru dari sisi lain. Indonesia seluruh penduduknya miskin. Jauh lebih besar ketimbang angka Bank Dunia. Seluruh orang tidak bisa makan bergizi. Maka mereka lampiaskan keinginan makan sehat itu dengan cara menonton Mas Bondan melahap aneka menu di berbagai restoran.

Ini persis teori untuk sinetron-sinetron glamor kita yang mirip karya-karya film India dan telenovela Amerika Latin. Banyak ahli bilang bahwa ketika orang sudah sumpek dengan kemiskinan, mereka ingin keluar dari itu dengan cara melihat mewahnya rumah, mobil dan baju-baju dalam sinetron.

Dengan pikiran humor, pelukis Cak Kandar punya jawaban lain. “Lho, masa miskin ndak boleh? Kalau semua negara kaya, kalau semua negara bagus, terus siapa yang miskin, siapa yang jelek,” katanya sambil terkekeh pekan lalu di studionya, Kebayoran Lama Jakarta.

***

Sayangnya ndak semua humor bagus. Bilang bahwa sebagian besar susu bayi kalengan mengandung bakteri Sakazakii yang berbahaya, tapi ndak mau nyebut merk-merknya…wah ini humor yang ndak baik… bikin panik. Apalagi ternyata penelitian itu dilakukan hanya untuk produk-produk tahun 2006-2007. Bukan produk yang kini beredar di pasaran.

Maka daripada tambah pusing ama bakteri Sakazakii, saya lebih teringat Zaki, nama dua teman saya…Dan sudah tentu paling teringat ama lagu dangdut Ahmad Albar…Zakiyah…Zakiyah

(Dimuat di harian Sindo No. 75, tanggal 28 Februari 2008)